Jakarta, Oerban.com – The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), mengadakan sebuah diskusi daring yang mengangkat tema “Melihat Kembali Penerapan Kuota 30 Persen Perempuan di Partai Politik” pada Kamis, 23 Juni 2022.
Diskusi ini menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Ahmad Hidayah (Peneliti Bidang Politik TII), Eva Yuliana (Anggota DPR RI Fraksi Partai Nasional Demokrat), Suci Mayang Sari (Bendahara Umum Partai Solidaritas Indonesia), dan Sri Budi Eko Wardani (Akademisi Universitas Indonesia).
Menurut Ahmad Hidayah, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) menjadi contoh baik dalam menghadirkan perempuan di partai politik. Hal ini mengacu pada jumlah representasi perempuan Nasdem di DPR RI dan jumlah perempuan sebagai pengurus di tingkat pusat yang melebihi 30 persen.
“Nasdem menjadi salah satu contoh baik, dimana jumlah perempuan di struktur DPP dan jumlah perempuan di DPR RI- nya sama, yaitu 32 persen. Artinya, melebihi 30 persen.” jelas Ahmad.
Terkait Partai Nasdem, Eva Yuliana, Anggota DPR RI Fraksi Partai Nasdem dan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Kota Surakarta, menjelaskan bahwa Partai Nasdem berkomitmen terkait menghadirkan perempuan di partai politik.
“Partai Nasdem berkomitmen dalam memajukan perempuan. Sebagai contoh, Ibu Lestari Moerdijat sebagai Wakil Ketua MPR RI dari partai Nasdem. Lalu, ada Ibu Siti Nurbaya Bakar sebagai Menteri KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang juga dari Partai Nasdem,” papar Eva Yuliana.
Tidak hanya Nasdem, Ahmad Hidayah juga mengapresiasi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Menurutnya, sejauh ini hanya PSI yang memiliki posisi sekretaris jenderal dan bendahara umumnya adalah perempuan.
“PSI juga dapat menjadi contoh baik. Waktu ketua umumnya adalah Grace Natalie yang merupakan perempuan, Sekjennya adalah laki-laki, Raja Juli Antoni. Begitu pula ketika ketua umumnya saat ini adalah laki-laki, yaitu Giring Ganesha, Sekjennya perempuan, yaitu Dea Tunggaesti,” jelas Ahmad.
Dalam diskusi ini, Sri Budi Eko Wardani, Akademisi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa perlu untuk mendorong kebijakan afirmasi bagi perempuan berupa pendanaan politik untuk politisi perempuan.
“Perlu dibuat kebijakan afirmasi berupa pendanaan politik untuk politisi perempuan. Misalnya, bantuan keuangan dari partai politik kepada calegnya dalam bentuk logistik ataupun syarat tes kesehatan dan dokumen pendukung untuk pemilu,” tutur Sri Budi Eko Wardani.
Di akhir diskusi, seluruh pembicara sepakat untuk berkomitmen dalam mendukung dan mendorong perempuan untuk terlibat aktif dalam politik. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan perempuan pada posisi-posisi strategis, baik dalam partai politik, maupun dalam nomor urut pencalonan pada Pemilu 2024 mendatang.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini