Kota Jambi, Oerban.com – Sore itu kala awan hitam menyelimuti langit dengan tebal, seorang laki-laki tua dengan tatapan penuh percaya diri bercerita di hadapan beberapa wartawan. Namanya Jaiz, mantan Kepala Desa Mekar Sari, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari.
Jaiz adalah masyarakat asli suku Jawa yang dulu tinggal di Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah. Namun karena adanya kebijakan transmigrasi dari pemerintah pada saat itu, dirinya dan sejumlah masyarakat terpaksa meninggalkan kampung halaman menuju Provinsi Jambi.
“Dari tahun 2005 saya ditempatkan di Tebing Jaya I, untuk menempati suatu panggilan transmigrasi dari pemerintah, dan untuk mengembangkan perekonomian maupun kebudayaan di Desa Tebing Tinggi,” ucap Jaiz saat mengenang masa lalu dalam acara Konferensi Pers Peringatan Hari Tani Nasional, di Sekretariat Walhi Jambi pada Sabtu, 24 September 2022.
Jaiz bercerita, pada saat ingin bertransmigrasi dulu dirinya dan masyarakat di janjikan bantuan lahan oleh pemerintah, yaitu bantuan Lahan Usaha (LU) I dan bantuan Lahan Usaha (LU) II.
LU I sendiri merupakan lahan dengan luas secukupnya yang diperuntukkan bagi pemukiman dan cocok tanam. LU ini bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek (untuk makan).
Sedangkan LU II rencananya adalah lahan dengan luas 1 Hektare, diperuntukan untuk kebutuhan jangka panjang seperti berkebun.
5 tahun berselang sejak kedatangan Jaiz dan masyarakat Jawa lainnya ke Provinsi Jambi, lahan yang dijanjikan sebesar 0,25 Hektare sudah mendapatkan sertifikat, sedangkan lahan sebesar 0,75 Hektare lainnya diserobot begitu saja oleh mafia tanah.
“Sampai tahun 2010 saya mendapatkan sertifikat yaitu sejumlah 200 KK untuk yang 0,25, dan yang 0,75 pun sudah mendapat, tapi yang 1 paket yaitu 1 hektar belum mendapat sertifikat. Duduk permasalahannya yang 0,75 ini disita maupun diambil oleh orang yang tidak bertanggungjawab yaitu mafia tanah,” terang Jaiz dalam ceritanya.
Jaiz mengatakan, jumlah lahan 0,75 yang diserobot oleh mafia tanah dari kepemilikan 144 KK di Desa mencapai 108 Hektare. Belum lagi ditambah dengan LU II, lahan seluas 1 Hektare untuk masing-masing KK yang juga belum bisa diterima dan dimanfaatkan masyarakat.
Dengan nada sedikit kecewa, Jaiz menyebut jika penyerobotan lahan yang terjadi sejak tahun 2012 itu belum bisa terselesaikan hingga sekarang, sudah puluhan tahun artinya.
“Dari 2012 sampai sekarang pun belum terselesaikan, walaupun dengan segala upaya kekuatan pemikiran dan tenaga kita masyarakat awam,” ucapnya.
Jaiz menuturkan, setelah terombang-ambing mencari keadilan selama puluhan tahun, dirinya dan masyarakat akhirnya bertemu Walhi yang mau membantu penyelesaian konflik perampasan lahan.
Mandek di Jambi, Walhi Bawa Jaiz dan Masyarakat ke Ibu Kota
Perjumpaan Jaiz dan Walhi memang belum sampai seumur jagung, bahkan jika dibandingkan dengan usia konflik belum ada apa-apanya. Jaiz mengaku baru bertemu Walhi 2 bulan belakangan, maka sejak saat itu segala urusan administrasi dan keperluan lainnya diserahkan ke Walhi.
Sebagai salah satu upaya mencari ujung penyelesaian konflik, Jaiz mengatakan sempat dibawa terbang ke Ibu Kota untuk bertemu pihak-pihak berwenang.
Upaya tersebut diambil pasca mandeknya proses penyelesaian di tingkat lokal, dari penuturan Jaiz, pada bulan Juni telah lebih dulu ada upaya agar konflik dapat selesai oleh pemerintah Kabupaten Batanghari, namun kenyataannya hingga kini belum juga memberi pengaruh apapun.
Perlawanan dari mafia tanah yang merampas hak masyarakat bahkan tak pernah surut, banyak intimidasi yang sengaja ditujukan langsung agar masyarakat menyerah untuk memperoleh haknya yang sah. Menurut Jaiz, mafia tanah sengaja menyewa preman untuk melancarkan intimidasi tersebut.
“Maka hal-hal seperti ini bapak-bapak pers, minta tolong untuk menyebarkan luaskan berita ini. Ini bukan bohong, ini nyata dan konkret,” tegas Jaiz dengan tatapan percaya diri yang sama seperti saat memulai cerita.
Lebih lanjut, setelah sepakat untuk terbang ke Ibu Kota bersama Walhi, Jaiz bersama beberapa orang perwakilan masyarakat diterima oleh Wakil Menteri (Wamen) ATR/BPN, dengan respon akan mendalami kasus terlebih dulu.
Kurang puas dengan respon tersebut, Jaiz memilih untuk kembali mencari jalan mendapatkan haknya dan masyarakat. Selang sehari, ia segera bergegas datang ke kantor Kemendes PDTT, namun respon yang diterima tetap tidak memuaskan, yaitu akan mendalami terlebih dulu.
Tak surut sampai di sana, upaya Jaiz mencari keadilan terus berjalan, usai tidak mendapat kepastian di dua kantor kementerian, Jaiz akhirnya pergi ke kantor aparat penegak hukum, Mabes Polri. Namun hasilnya tetap nihil.
Upaya terakhir, Jaiz bersama Walhi akhirnya datang ke Kantor Staf Presiden (KSP) dengan membawa harapan akan menemui kejelasan.
Puluhan Tahun Tak Terselesaikan, Walhi Duga Ada Pihak yang Sedang Bermain
Pasca diterima di KSP, perwakilan yang menerima masyarakat dan Walhi merasa heran, bagaimana bisa konflik perampasan tanah yang sudah terjadi puluhan tahun tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah setempat. Hingga timbul pernyataan. “Sekuat itukah mafia tanah itu, sehebat itukah sampai pihak Kabupaten tidak dapat menyelesaikan masalah ini?” tutur Siswanto menirukan orang yang menerimanya di KSP.
Siswanto sendiri adalah mantan Ketua Kelompok Tani Desa Tebing Tinggi, Desa yang saat ini sebagian lahannya juga dirampas oleh mafia tanah yang sama. Ia dan Jaiz menjadi perwakilan masyarakat yang terbang ke Jakarta.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi, Abdullah mengatakan, pihaknya akan membongkar setiap persoalan terkait, sebab tidak hanya di Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi saja yang lahannya dirampas oleh mafia tanah.
Menurut Abdullah, ada sekitar 4 unit pemukiman dan lahan masyarakat transmigrasi yang dirampas oleh mafia tanah. Hal ini ucapnya, memang harus segera dibawa ke ranah hukum, sesuai dengan rekomendasi dari Bupati Batanghari Fadhil Arief.
Kendati begitu, Abdullah juga menegaskan jika siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam proses perampasan tanah harus dibongkar, sebab tidak mungkin pemangku kebijakan hanya diam saja.
“Ini akan kita bongkar bersama. Kami juga berharap kawan-kawan media membantu dengan penyebarluasan informasi ini,” ucap Abdullah.
Lebih jauh lagi, Abdullah menceritakan jika sebelum mendampingi Jaiz dan Siswanto, dirinya sudah pernah mendengar terkait kasus perampasan tanah tersebut. Bahkan, kenangnya, Gubernur Jambi Fachrori Umar kala itu sudah pernah mencoba memfasilitasi penyelesaian kasus dan memanggil pihak-pihak terkait, namun pada akhirnya tetap tidak membuahkan hasil.
Berangkat dari hal tersebut, Abdullah menilai banyak pihak yang sedang bermain dibalik berjalannya kasus. “Ada yang punya kepentingan terkait, kalau lahan ini sampai dilepas kita akan rugi besar, karena kalau kita melihat di sana lahan itu memang bagus,” ujarnya.
Abdullah menjelaskan, pada dasarnya Kementerian ATR/BPN tentu punya data lahan mana saja yang akan menjadi LU I dan LU II untuk masyarakat transmigrasi. Karena tidak mungkin masyarakat yang masuk dalam program transmigrasi hanya datang ujuk-ujuk saja.
Selain itu, upaya pelaporan selama ini terkesan selalu ditanggapi dengan tidak serius, mulai dari Kabupaten, ATR/BPN, Nakertrans, hingga ke Polres dan Polda.
“Ini pasti ada yang ditutupi dan siapapun nanti yang terlibat mudah-mudahan bisa dibongkar, walaupun orangnya tidak ada tapi ada penanggung jawab penanggung jawabnya,” tegas Abdullah.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini