Oerban.com – Perbincangan mengenai hari Kartini selalu saja menjadi spirit baru bagi saya. Bagaimana bisa nama seorang gadis bangsawan Jawa tersebut dijadikan sebagai peringatan hari nasional sebagai representasi perempuan Indonesia. Padahal, jika kita membaca perempuan Indonesia, bukan hanya kegigihan Kartini saja yang kita dapati. Ada Cut Nyak Dien yang bergerilya di hutan melawan menggantikan suaminya yang wafat untuk melawan penjajah, Rohana Kudus yang pandai menulis dan mendirikan surat kabar, Martha Kristina Tiahahu yang berjuang melawan penjajah hingga mati dan jasadnya dibuang ke laut Banda serta perempuan-perempuan lain yang telah berbuat lebih jauh dari Kartini.
Lalu mengapa Kartini, apa yang menarik dari perempuan berwajah kalem tersebut. Konon, pemikiran Kartini yang melampaui bangsanya saat itu bisa menjadi alasan, Kartini hidup di keluarga bangsawan, namun ia sendiri tidak diperbolehkan untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri seperti abangnya Sastrokartono. Keprihatinannya terhadap kondisi perempuan pribumi yang tidak dibolehkan mengenyam pendidikan lalu ia bandingkan dengan konsep perempuan modern dan menggerakkannya untuk menulis surat kepada temannya di Belanda.
Kondisi sosial politik Indonesia yang saat itu di dominasi oleh kolonial Belanda juga cukup berpengaruh, bahkan dalam sebuah Jurnal Islamia (INSISIT Republika) edisi 9 April 2009 yang ditulis oleh sejarawan Persis Tiar Anwar Bachtiar tentang Kartini yang berjudul: mengapa harus Kartini? Ia mempertanyakan pengukuhan Kartini sebagai simbol kemajuan perempuan Indonesia. Bahkan jauh sebelum itu, penggugatan Kartini telah dimulai oleh Harsja W. Bachtiar seorang doktor sosiologi lulusan Harvard University.
Berdasarkan penelusuran Harsja, Belanda lah yang telah melakukan penokohan terhadap Kartini. Perkenalan Kartini dengan temannya Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan sosial membawanya pada ide modern terutama tentang perjuangan perempuan dan sosialisme. Setelah Kartini wafat di usia 25 tahun, surat-surat Kartini di kumpulkan dan diterbitkan dengan judul Door Douisternis tot Lich oleh Abendanon, kemudian beberapa tahun berikutnya terbit dalam Bahasa Indonesia berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922), lalu di lanjutkan dengan pembentukan komite Kartini, serta pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sekolah di Jawa Tengah. Usaha pengumpulan dana itu pula disertai ide-ide memperkenalkan nama Kartini.
Harsja juga mengatakan bahwa orang-orang Pribumi diluar lingkungan terbatas Kartini kala itu tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda tidak menampilkan Kartini kedepan dalam tulisan-tulisan, percakapan maupun tindakan mereka. Diluar kenyataan sejarah tersebut, nyatanya Indonesia telah mengembangkan Kartini sebagai simbol perempuan Indonesia. Peradaban dunia sudah jauh lebih maju dari kondisi saat itu, pembahasan tentang Kartini berdasarkalan realita sejarah pun lambat laun akan dimengerti jika kita terus memproduksi literatur pembanding dengan mengenalkan wajah perempuan Indonesia yang lain.
Perbedaan paham, konsep dan tujuan perempuan sebagai gerakan pun kini tak mau ketinggalan. Sebagai entitas yang tak terpisahkan dari laki-laki, perempuan memang memiliki kekhasan. Dalam berbagai sektor publik seperti politik, budaya, ekonomi, industri ia terus bermunculan. Tak peduli bagaimana latar belakang keluarganya, perempuan kini dapat berekspresi dan menuntut ilmu tanpa hambatan pandangan pendidikan yang parsial untuk laki-laki saja. Hari ini, 21 April sebagai hari peringatan Kartini, sudah saatnya kita keluar dari bayang-bayang ciptaan orang lain, Indonesia hari ini memiliki perempuan yang sedang berjuang sebagai perawat, dokter, pedagang, bahkan ibu rumah tangga yang akan menjadi garda terdepan memastikan regenerasi Indonesia yang lebih baik.
Kartini hari ini adalah ia yang menciptakan sendiri sejarahnya, tidak lagi dicipta oleh sesuatu diluar dirinya, ia harus sadar bahwa tujuan kemanusiaan adalah sebaik-baiknya cita-cita.
Penulis: Novita Sari (Menteri Gerakan Pemberdayaan Perempuan BEM KBM UNJA)
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini