email : [email protected]

24.5 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

REFLEKSI KARYA SASTRA DI RUANG DIGITAL

Populer

Karya sastra dan visi kepengarangan

Kota Jambi, Oerban.com – Karya sastra secara umum merupakan representasi kondisi sosial budaya tertentu, ia hadir melalui penghayatan pengarang dalam memandang kondisi realitas yang ada. Memang, tidak ada aturan baku yang menyatakan bahwa sebuah karya sastra harus mengandung isu-isu tertentu, memperjuangkan ‘yang lain’ dari kebenaran umum dan istilah lain yang mengacu pada konsep pemahaman orang banyak. Nyatanya sastra begitu liat, ia menawarkan kebenaran alternatif dan menjadi medium bagi pengarang untuk menggugat bahkan menciptakan dunia imajiner yang iaidam-idamkan.
Meskipun tidak ada yang menguji kebenaran perkataan Seno Gumira Ajidarma, yang berujar “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”1tetapi barangkali inilah yang dilakukan oleh beberapa penulis dalam dunia sastra Indonesia. Bagaimana seorang Leila S. Chudori lewat novel berjudul Laut Bercerita, kembali membuat kita bertanya-tanya tentang kondisi para aktivis yang hilang di masa lalu. Mengapa Okky Madasari begitu intim dengan isu diskriminasi terhadap kaum minoritas lewat novel-novelnya seperti Pasung Jiwa dan Maryam, dan apa yang membuat Eka Kurniawan begitu berani membawakan seksualitas sebagai isu utama dalam karyanya.

Ya, setiap penulis memiliki nilai-nilai yang ia perjuangkan lewat karya- karyanya. Kita bersyukur karena nilai-nilai tersebut, peradaban sastra Indonesia menjadi ramai, tidak monoton dengan satu tema besar saja, seperti apa yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya-karya yang hendak terbit di masa itu. Kondisi bangsa Indonesia yang pernah dijajah seakan menjadi pil pahit yang harus kita ditelan bersama, kedudukan kita sebagai masyarakat terjajah digambarkan inferior, irasional, dan dapat dimanipulasi oleh pihak yang dominan2. Disatu sisi kita tidak pernah menginginkan kondisi itu, namun disisi lain kita juga tidak dapat menolak, pilihan untuk berdamai dan mengingat episode itu sebagai satu masa kelam guna melangkah maju memperbaiki kondisi dan sesekali membaca zaman, agar tidak terjebak pada kolonialisme dengan wajah baru, barangkali merupakan pilihan bijak yang perlu diambil.

Baca juga  TERGANTUNG JEJAKNYA

Hadirnya karya sastra menjadi refleksi sekaligus referensi melihat dunia yang begitu kompleks. Beberapa periodisasi sastra Indonesia diwarnai dengan kekhasan yang tidak terlepas dari ciri sesuai zamannya (meskipun tidak semuanya dapat dikategorikan demikian), bahkan saat ini hadirnya karya sastra mampu mengisi ruang-ruang yang dulu belum terpikirkan. Kekaryaan sastra di media digital misalnya, perlu mendapat perhatian khusus guna penilaian terhadap isi dan kualitas karya, terlebih jika karya sastra dalam konteks ini hanya dijadikan sebagai suatu atmosfer karya untuk menguntungkan satu pihak. Masyarakat sastra perlu mendapatkan sumber bacaan yang ideal, apalagi jika kaitannya dengan selera media digital dan publik penggemar pengarang saja.

Karya sastra dalam ruang digital

Berkarya di era digital kini semakin mudah, apresiasi pun dapat langsung dirasakan oleh pengarang, ditambah lagi dapat dengan mudah dibagikan kepada publik lewat sosial media. Namun, apakah karya tersebut bebas dari bayang- bayang ‘popularitas’ si pengarang hal ini perlu direnungkan. Mengingat kritikus sastra yang jumlahnya tidak banyak serta derasnya arus kekaryaan digital yang banyak dibungkus dengan sayembara oleh penerbit tertentu berujung pada kepuasan material bagi yang bersangkutan. Hal ini menjadi begitu dilematis dalam ruang karya sastra kita.

Faktanya, orang-orang memang tergiur dengan sejumlah hadiah yang ditawarkan. Berlibur ke luar negeri, gawai, dan sejumlah hadiah mewah yang kurang esensial dengan tumbuh kembang sastra Indonesia. Padahal, lebih dari itu karya sastra memiliki potensi penyadaran estetis bahwa sebuah karya sastra lebih berharga dari kepuasan batin individual, ia menawarkan gagasan dan pengetahuan sehingga tidak bisa digantikan oleh kepuasan individu. Apa yang terjadi tersebut dapat dikatakan ‘praktek jual-beli karya sastra’ yang merupakan alih fungsi sastra itu sendiri. Padahal, menurut Plato (Hardjana, 1982: 1) karya sastra dapat dipandang baik apabila memberikan ajaran moral yang tinggi, memberikan kenikmatan, dan ketepatan dalam wujudpengungkapannya.

Baca juga  AKU TERPANGGIL DI PULAU BINTAN

Perlu adanya standar khusus dalam menjaring karya sastra di ruang digital. Adanya disiplin pengadaan sayembara yang menjaring karya sastra meliputi kualitas karya adalah keniscayaan, agar bisnis penyelenggaraan kegiatan yang berbentuk perlombaan tersebut tidak serta merta memikirkan keuntungan satu pihak namun juga bertanggung jawab terhadap karya yang dihasilkan terhadap masyarakat. Hal ini dapat disikapi dengan pertanggungjawaban juri kepada publik atas terselenggaranya kegiatantersebut.
Memang terdapat ambivalensi dalam penyikapan ini, namun jika dibiarkan publik sastra lambat laun akan sulit membedakan bacaan yang interpretatif dengan keilmuan sastra serta muatan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam proseskonsumsinya.

Refleksi karya sastra di ruang digital

Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran karya sastra di ruang digital memberikan eksistensi tersendiri. Hal ini dapat ditandai dengan popularitas karya yang muncul di platform sastra sejenis yang memberikan asumsi bahwa pengarangnya telah ‘diakui’ keberadaannya. Sebut saja pengarang yang berhasil menerbitkan karyanya di media seperti : Kompas, Jawa pos, basa-basi.co, dan beberapa platform lain yang tidak asing ditelinga pembaca sastra.
Lalu, apakah kekaryaan sastra di ruang digital bisa diukur dengan sensibilitas sastra konvensional (cetak) dalam periode sebelumnya. Era digital seperti membelah dunia kita menjadi dua, antara nyata dan maya. Namun sejatinya, media digital tetap memiliki esensi yang sama. Sebab muara dari sayembara yang dilakukan secara umum juga untuk membukukan karya secara keseluruhan, dengan begitu para peserta dapat berpartisipasi secara gotong- royong dan tentunya menguntungkan pihakpenyelenggara.

Namun, masa depan sastra kita juga bergantung pada setiap perkembangan yang ada. Sastra yang liat juga berpotensi mengikuti perkembangan zaman, dan tentu saja memperkaya khazanah kesusastraan kita. Kekaryaan di dunia digital, mau tidak mau hadir mewarnai dunia sastra mendampingi masyarakat yang terdigitalisasi dewasaini.
Pada akhirnya, pembacaan ini mengarahkan pada refleksi bersama. Kekaryaan sastra di media digital sebagai medium opsional pengarang dalam melahirkan karya-karyanya. Sebab untuk dapat bersuara dan terkoneksi dengan wilayah global, cara konvensional masih terasa relevan, namun hadirnya ruang digital mampu memperkaya arus kreativitas dan mengisi ruang-ruang tertentu. Sehingga hal itu hanya dikategorikan sebagai perubahan bentuk saja.

Baca juga  KETIKA KEMARAU MENCEMBURUI HUJAN

BAHAN BACAAN:

Ajidarma, Seno Gumira. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Hardjana, Andre. 1982. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Biodata Penulis:

Novita Sari, Lahir di Jambi, 25 November 1997. Memiliki minat di bidang kepenulisan sastra, saat ini sedang menjalani aktivitas sebagai mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi, ketua komunitas berani menulis Jambi, serta pimpinan redaksi media oerban.com. Tulisannya sering dimuat di media Jambi, karya-karyanya terhimpun di antologi puisi Cingkling, antologi cerpen ini aku, antologi non fiksi Tuhan Maaf Kami Lupa Bersyukur, dan blogger dikompasiana.com.

Editor: Renilda PY

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru