Sebelumnya, penulis menorehkan dan menjabarkan fenomena aneh mengenai kelakuan pimpinan di beberapa kampus di Indonesia yang melakukan “kebiri” terhadap BEM.
Baca tulisan sebelumnya terlebih dahulu agar dapat memahami tulisan saat ini: “Pengebirian Badan Eksekutif Mahasiswa: Tanda Matinya Demokrasi Kampus?”
Kita sudah memahami bahwasanya kampus bukan hanya sekedar tempat menambahkan titel di ujung nama, dan lembaga seperti BEM maupun DPM bukan pula sebatas hal yang memperindah isi LinkedIn kita. Tetapi kampus juga merupakan miniatur dari sebuah negara, dan menurut KBBI miniatur sendiri merupakan sebuah replika dari suatu objek. Ketika kampus dimaknai sebagai miniatur negara, maka sudah pasti penduduknya adalah civitas akademika termasuklah mahasiswa, dosen, tenaga non kependidikan, maupun birokrat.
Birokrat merupakan pimpinan di level universitas dan mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika mempunyai wadah pemerintahan nya sebagai sarana pendidikan politik dan juga kontrol terhadap kebijakan birokrasi agar tidak kebablasan. Namun apabila, birokrasi tidak dikontrol oleh keberadaan Lembaga Mahasiswa bahkan “mengkebirinya”. Ini menunjukkan bahwa Birokrasi telah mengubah dirinya sebagai oligarki yang otoriter dan zalim terhadap hak mahasiswa. Pengebirian BEM dan DPM terhadap birokrasi bagaikan sebuah motor yang diputus rem nya agar dapat melaju kencang, suatu saat akan mencelakakan penggunanya.
Mahasiswa juga punya peran sebagai agent of social control yang bertugas menjadi kendali terhadap setiap fenomena sosial yang tidak sesuai dengan idealnya kondisi sosial yang seharusnya di Indonesia.
Berkaca pada kampus Universitas Jambi, kampus yang di mana penulis mengenyam ilmu di sana. Penulis sadar bahwa kekosongan dan pengebirian terhadap lembaga kemahasiswaan seperti BEM, DPM telah menzalimi hak mahasiswa untuk menjalankan demokrasi di lingkup perguruan tinggi.
Sekalipun birokrasi menawarkan program program yang menggiurkan seperti MBKM, PMM, PMW, PKM dan sebagainya, hak mahasiswa untuk bisa berproses di organisasi mahasiswa juga tak boleh diabaikan. Universitas Jambi telah kehilangan makna kampus sebagai miniatur negara. Karena suatu negara itu diakui dengan beberapa syarat konstitutif yaitu adanya rakyat (mahasiswa), wilayah (universitas) dan pemerintahan (lembaga eksekutif dan legislatif kampus). Pada unsur pemerintahan nya itu, lembaga eksekutif dan legislatif kampus dibekukan oleh rektorat tanpa alasan yang konkrit dan logis hingga hari ini.
Belum lagi, kita akan menghadapi SNBP, SNBT dan tes Mandiri untuk menyambut Mahasiswa Baru 2023. Siapa yang bisa memfasilitasi adik-adik ini untuk dapat informasi seputar kuliah?
Kita tidak bisa hanya sebatas mengandalkan UKM yang hanya akan disambangi mahasiswa yang tertarik saja maupun Hima yang kadangkala adik-adik belum mengenal ormawa di prodi tempat dia diterima. Sebelum fenomena ini terjadi, BEM dan DPM/MAM lah yang sering menjadi gerbang utama untuk adik-adik masuk ke kampus. Mulai dari sekedar bertanya berkas daftar ulang hingga PKKMB, kampus sebelumnya mempercayakan kepada BEM sebagai penyelenggara.
Dengan dibekukan nya BEM dan DPM/MAM, ini akan menjadi banyak pertanyaan bagi adik-adik di kampus ini: “Kemana BEM UNJA?”
Penulis hanya mengharapkan, kesadaran rekan-rekan mahasiswa untuk mengembalikan demokrasi di kampus. Kemudian membuat kampus kembali jadi miniatur negara.
Opini ini ditulis oleh Jordi Adrian Syach.
Penulis merupakan mahasiswa Universitas Jambi yang saat ini duduk di semester 8