Oleh: Zahran sabdian fadholi*
Oerban.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah resmi mengesahkan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang pada 18 November 2025. Pengesahan ini diklaim sebagai langkah maju untuk mengganti UU No. 8 Tahun 1981 yang sudah usang dan menyesuaikannya dengan perkembangan hukum nasional, internasional, serta nilai-nilai keadilan restoratif.
Namun, di tengah narasi progresif ini, publik diguncang oleh kekhawatiran serius yang disuarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil, sebagaimana tercermin dalam poster yang viral dengan tagar #SemuaBisaKena. Isu utamanya adalah potensi pelebaran kewenangan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, tanpa pengawasan dan izin hakim yang memadai, sehingga berpotensi melanggar hak-hak sipil.
Pasal-Pasal Kontroversial yang Menjadi Sorotan
Poster yang mengacu pada draf 13 November 2025 menyoroti empat poin krusial yang dianggap sangat bermasalah:
Penyadapan dan Komunikasi Digital Tanpa Batasan (Pasal 1 ayat 34 dan Pasal 124): Klaim bahwa penyidik dapat melakukan penyadapan, merekam, dan mengutak-atik komunikasi digital tanpa batasan soal “penyadapan” dan tanpa izin hakim, adalah poin yang paling mengkhawatirkan. Meskipun DPR membantah dan menyebutnya hoaks, serta menyatakan aturan penyadapan akan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang terpisah, Pasal 124 (yang diklaim mengatur penyadapan tanpa izin hakim) tetap memunculkan pertanyaan besar tentang mekanisme due process of law dan perlindungan privasi.
Pembekuan Aset dan Data Online Sepihak (Pasal 132A): Kewenangan untuk membekukan rekening bank, media sosial, hingga data di drive tanpa pengawasan yudisial yang ketat dapat digunakan secara sewenang-wenang. Jika benar-benar dapat dilakukan secara sepihak, ini merupakan ancaman serius terhadap hak kepemilikan dan data pribadi warga negara.
Penyitaan Jangka Panjang (Pasal 112A): Pengambilan dan penyimpanan HP, laptop, serta data elektronik dalam waktu lama, bahkan terhadap orang yang bukan tersangka, mengganggu kehidupan pribadi dan profesional. Pasal ini berpotensi menjadi alat intimidasi dan perampasan privasi.
Kewenangan Upaya Paksa Tanpa Konfirmasi Tindak Pidana (Pasal 5): Kekhawatiran bahwa penyelidik dapat melakukan tindakan seperti menangkap, menggeledah, hingga menahan tanpa konfirmasi adanya tindak pidana, berisiko membuka peluang entrapment (penjebakan) dan tindakan koersif dari aparat.
Dua Sisi Mata Uang RUU KUHAP
Di satu sisi, pendukung RUU KUHAP berdalih adanya penguatan hak-hak tersangka/terdakwa, korban, dan saksi, serta penekanan pada keadilan restoratif. Mereka juga menyebut revisi ini penting untuk modernisasi sistem peradilan.
Namun, di sisi lain, jika substansi pasal-pasal kontroversial yang dikhawatirkan masyarakat sipil benar-benar termuat dalam implementasinya, maka pengesahan ini berisiko menciptakan instrumen hukum yang sangat otoritarian. Ini akan melahirkan ketidakpastian hukum, di mana “Semua Bisa Kena” (entrapment) karena kewenangan aparat yang terlampau luas dan minim pengawasan dari hakim (sebagai otoritas yudisial).
Jaminan Konstitusional dan Uji Materi
Terlepas dari klaim DPR bahwa substansi negatif tersebut tidak ada atau sudah diperbaiki, desakan dari masyarakat sipil agar Presiden segera menarik draf tersebut dan mempertanyakan legitimasi prosesnya menunjukkan adanya trust deficit (defisit kepercayaan) yang serius.
Langkah selanjutnya bagi masyarakat sipil adalah menempuh jalur Uji Materiil (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memastikan bahwa UU KUHAP yang baru ini benar-benar menjamin perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Sebuah undang-undang yang diklaim untuk kemajuan hukum seharusnya tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan hak asasi manusia.
*Penulis merupakan Kepala Kebijakan Publik KAMMI Komisariat Sultan Thaha

