Jakarta, Oerban.com – Staf Ahli Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Henry Subiakto, meminta masyarakat untuk membedakan antara kritik, fitnah, ujaran kebencian, dan berita bohong.
Hal ini disampaikan menyusul pernyataan dari presiden Jokowi yang meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam mengkritik pemerintah.
“Presiden minta kritikan pada layanan publik ditingkatkan. Tidak perlu takut ngritik, yang penting bedakan antara kritik dengan fitnah, provokasi kebencian Sara, dan penyebaran kabar bohong,” Kata Henry di twitter pribadinya pada Kamis (11/2).
Henry mengatakan jika Menyebar fitnah dan ujaran kebencian Sara telah dilarang oleh undang-undang sejak dulu, hal tersebut kata Henry, adalah sebuah kejahatan bukan kritik, untuk itu dirinya meminta masyarakat dapat lebih cerdas membedakan kejahatan dengan kebebasan berpendapat.
“Nyebarkan fitnah, tuduhan tak berdasar pada seseorang, provokasi kebencian Sara, penyebaran kabar bohong untuk ciptakan keonaran, memang dilarang UU sejak dulu. Itu bukan kritik. Bukan pula pendapat. Tapi itu kejahatan. Bedakan antara kejahatan dengan kebebasan berpendapat,” Ujar Henry.
Lebih lanjut, Henry menegaskan jika di negara manapun tidak ada kebebasan yang dapat melanggar hukum, meski di negara liberal sekalipun.
“Di negara manapun tidak ada yang namanya kebebasan melanggar hukum. Walau di negara paling liberal sekalipun. Maka pahami hukum. Ketahui peraturan secara benar. Itu kuncinya,” Tegas Henry.
Sampai saat ini, banyak masyarakat yang masih meragukan pernyataan jokowi yang meminta masyarakat untuk dikritik. Salah satu hal yang menjadi keraguan dari masyarakat adalah rekam jejak digital pemerintah sendiri, yang mana dalam hal ini Menko Polhukam Mahfud MD pernah mengatakan jika di tahun 2021 Polisi Siber akan benar-benar diaktifkan.
Tentunya hal itu berlawanan dengan pernyataan presiden, terlebih lagi jika mengingat UU ITE yang kerap kali digunakan oleh pemerintah untuk menjerat masyarakat yang mempunyai pandangan berbeda terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini