Oleh : Muthia Arrahmah*
Embun dipagi hari yang belum meluap didedaunan kecil, bersajak a -a diantara angin dan awan, berhembus nafas kian entah kemana, berlari jatuh akhirnya bangkit juga. Penantian panjang ada sepanjang masa, dan laa tahzan itu semua jawabannya.
Seketika hati yang terkikis karena seseorang, sungguh membuatku terjatuh disekian sekian terdalam.
Tiada lagi bisa kuharapkan, hanya do’a yang bisa kupanjatkan.
Jemariku tidak tertahankan diseluruh tubuhku, bibirku mulai pucat dan mata memerah, seakan akan mengundang air mata untuk berjatuhan pertama kalinya. Diawal aku mengenalnya aku sangat kagum pada perempuan yang telah membuatku jatuh hati untuk pertama kalinya. Akankah itu cinta pertama? Bisa saja. Karena ia lah perempuan yang menarik hatiku. Aku mengenalinya ketika matahari tertuju olehnya, saat angin menyapa dengan sepeda yang diayunkan, seakan-akan itulah aku anggap ia jodoh. Namun tak mudah bagiku untuk mengenalinya, pada perempuan sosok rahasia ditelan oleh gelapnya malam gulita. Ini bukan mimpu kuucap pada temannku, namanya myori “kucing putih”. Aku selalu bercerita tentangnya dikala ramainya orang berlalu lalang dijalan, ups. Tapi aku bicaranya pelan, yang terdengar hanyalah seekor kucing disebalahku.
Hujan itu rahmat, disaat kita bersebrangan disanalah titik hati kita menyatu, yuk berdo’a dikala hari hujan, ucap sahabatku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, yang kuiingkan pertemukanlah kami suatu saat nanti (itupun kalau berjodoh). Aku tidak tahan, karena pikiran,perasaan dan bathinku sangat mengingkannnya. Ingin secepatnya aku melamar, tapi itu sangat sulit bagiku, umur kita berbeda, dan masih banyak yang ingin kuperjuangkan.
Selama beberapa tahun, aku masih menjadi pria penganggum rahasianya, setelah aku bekerja dengan hasil jerih payahku sendiri, masih saja aku tidak berani bertemu orangtuanya, banyak pertanyaan pertanyaan dibenak kepalaku.”kamu pekerjaannya apa? Udah punya rumah?udah punya mobil atau udah bisa menjamin anakku hidup denganmu” membayangkan apakah itu yang ditanyakan disaat aku bertemu dengan orangtuanya.
Larut-larut hati semakin menyempit, seakan akan bunga yang kembang telah layu dimakan rayap, air sungaipun mulai pasang surut, dan semuanya sudah mengering karena tiadanya berani untuk datang melamarmu.
Selangkah hatiku bersamamu
Datang untuk pertama kalinya, disaat aku ketok rumahmu tidak sengaja aku lihat sosok pria yang telah melamarmu terlebih dahulu, hampa hatiku disaat keberanian telah kurakit secara satu persatu kini kian memudar bahkan mau hilang. Aku yang menganggumimu terlebih dahulunya!! Serokan hati yang tidak bisa diicuapkan lantas aku sangat kecewa pada diri sendiri karena aku terlambat selangkah untuk melamarmu.
Akankah aku bisa menjadi pria menganggumi untuk selamanya? Tidak bisa karena kamu telah dimiliki oleh pujaan hatimu. Semuanya telah sirna dan merana. Salahku juga, karena telah berharap padamu dan terlambat selangkah datang melamarmu.