email : [email protected]

23.6 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

Wahai Dunia Ini Pesan Untukmu

Populer

Oerban.com – Kenalkan aku berumur 14 tahun anak ketiga dari lima bersaudara. Suasana pagi terasa sejuk menembus paru-paruku dengan jaket dan baju tiga lapis di badanku. Hari ini merupakan musim dingin di tempatku. Aku duduk di depan rumah bersama kakak pertamaku dengan menatap curiga penuh pertanyaan ke atas langit.

Kakakku sedang menempuh sekolah menengah atas tidak jauh dari rumah. Walau la sangat jarang belajar, la merupakan tulang punggung keluarga setelah satu tahun belakangan ini karena mama sedang sakit parah. Sedangkan ayahku, aku pun tak mengenali wajahnya apalagi sebatas tegur sapa dan canda tawa.

Ya, aku anak yang malang dengan kedua adikku yang senasib denganku. Kakak keduaku juga telah pergi meninggalkanku selamanya ketika aku berumur 2 tahun.

Hari berganti nama, berganti warna walau tak merubah apa yang aku rasakan, selain aku merawat ibu. Aku juga membantu kakak bekerja di pasar ketika ada waktu luang.

Hidup kami walaupun penuh penderitaan bagi yang melihat dengan kacamata dunia, namun kami selalu bahagia. Bahagia bersama keluarga yang mengajarkan penuh keimanan arti kehidupan dengan teman dan penduduk sekitar memberikan perhatian yang tidak bisa dilukiskan dengan tinta mana pun.

Kami bersyukur hidup berkecukupan dengan syarat tanda alam, keluarga yang saling mencintai dan menyayangi bahkan tanah lahirku merupakan harga mati untuk kami semua, tempatku lahir, bermain, canda, tawa dan menangis pilu dan bahagia.

“Tidak ada seorang pun yang bisa membayar tanah lahirku walau nyawa sebagai imbalannya”, kata itu merupakan warisan dari sepeninggalan ayahku dan nenek moyang kami yang berkomitmen teguh atas tanah air tetap dipertahankan. Tanah ith adalah Masjidil Aqsa Palestina

Cerita di Masjidil Aqsa Palestina

Cerita ini telah didengar dan ditonton oleh dunia, sejak kedatangan zionis ke tanah airku. Dia disambut hangat kedatangannya bak raja.

Tetapi, hati dan niat siapa tahu kecuali Sang Pemilik. Tahun 1948 mencekam dunia tidak berdaya, dari kami banyak yang gugur dengan ambil kembali yang telah ditelan macan lapar tak berotak.

Kejadian sama terulang kembali bahkan lebih kejam dari sebelumnya, tepatnya tahun 1967 perang enam hari. Mengingat peristiwa 1948 zionis mendeklarasikan kemerdekaan  yang dibantu Inggris dan Amerika Serikat ini pun mereka mengusir seenaknya tanpa salah, tanpa dosa tak mengerti kemanusian, tak paham kehidupan.

Baca juga  Senator Papua Angkat Bicara Soal Pelanggaran HAM: Sekarang Saatnya Diselesaikan, Jangan Cuci Tangan!

Aku mengingat kepergian ayahku karena ulah tangan dan muka bengis mereka. Laras panjang dan senjata lainnya siap melayani kami bahkan dari itu, tak segan memberikan gelar depan nama kami yaitu almarhum, apabila kami tidak mau menuruti perintahnya pergi meninggalkan rumah yang memang itu hak dan kewajiban untuk kami rakyat Palestina membela tanah air dan Masjidil Aqsa.

Mereka (Zionis) membunuh, merampok dan menzholimi Masjidil Aqsa dan tanah lahirku sedikit demi sedikit bak ulat memakan daun, lambat laun membusuk hangus dan habis. Kami tak berdaya, tanah kami sudah hilang yang hari itu dijuluki dengan “Nakhba”, perang zionis dengan bangsa Arab.

Kami penduduk sipil tak mengerti arti perang mengikuti siasat dari mereka (Zionis) dengan pergi menjauh dari peperangan dan meninggalkan rumah tempat tinggal kami. Semua kami pergi menepi menjauh zona peperangan. Namun, tiada sangka janji yang disebutkan perang usai ‘kalian (Palestina) boleh kembali ke rumah’, setelah kami ingin pulang ke tanah kami sejengkal demi sejengkal setiap waktu direnggutnya penuh paksa dan kejam.

Kami hidup penuh kesengsaraan, tidak ada yang aman di negeri para anbiya saat ini. Semua berpotensi nasib yang sama, dibantai brutal oleh mereka yang haus duniawi dan tanah kelahiranku. Kami tetap kuat dengan kondisi seburuk apapun itu karena kami merupakan pilihan Allah SWT dan telah ditanamkan iman di lubuk hati kami.

Lebih penting lagi, saudara-saudara kami di luar sana (dunia) pasti tidak akan diam melihat penderitaan yang kami rasakan dan kekejaman Zionis Israel laknatullah itu. Saudara kami pasti mendo’akan, menyalurkan bantuan untuk kami bahkan salah satu saudara kami di Indonesia telah menyumbangkan Rumah Sakit As Syifa di Palestina kelahiranku. Rumah sakit itu sangat membantu dan bahkan lainnya yang tak bisa kusebutkan satu persatu di dalam kisahku ini.

Kisah 7 Oktober

Tepat 7 oktober yang menjadi awal permulaan kisahku yang sangat pedih, pilu dan menyayat hati sehingga aku pun habis kata-kata untuk berbicara. Dari kami para Mujahid Palestina (Hamas) menyerang dan membunuh tentara Israel dan bayarannya disebabkan telah banyak penderitaan sudah, yang belum lama ini mereka menghancurkan dan mengusir penduduk Palestina dari rumahnya serta menghina, menzholimi masjidil Aqsa dengan berbagai macam tindakan seperti mengotori karpet dengan memasuki wilayah terlarang menggunakan sepatu mereka (laknatullah).

Baca juga  Sarapan Pagi: Kunci Peningkatan Kinerja Akademis Melalui Perspektif Ilmiah

Setelah keberhasilan mujahid kami membunuh tentara dan menyandera darinya. Para Mujahid telah meluncurkan 5000 roket ke arah Israel sehingga memuncak peperangan itu dengan jual beli balasan roket tiada henti.

Aku tinggal bersama ibu, dua adik dan satu kakakku dalam rumah, aku asyik bermain dengan kedua adikku. Tak beberapa detik suara dentuman terdengar tak asing bagiku. Ya, itu bom roket Israel jatuh tidak jauh dari rumahku.

Aku serentak kaget dan membisu dengan menatap ke arah ibuku yang telah dipeluk oleh kedua adikku menangis ketakutan. Ibuku menguatkan kami dengan satu ucapan berarti seumur hidup bahkan itu hanya satu kali. Apa itu Ibu: “Syahid”

Aku menatap ibu sendu dan menunduk terdiam dengan berbagai perasaan. Sementara kakak berucap, “Semua orang pasti meninggal dengan ketetapan-Nya. Demi Masjidil Aqsa dan Palestina kita bertahan.”

Adikku menatap takut seraya menangis memeluk erat ibu yang sedang terbaring di kasur kusam tak jauh dari tempatku duduk.

Slang itu pukul 01:15 waktu Palestina, dentuman bom roket Zionis membuat rumah bergetar dan kaca-kaca jendela pecah berserakan di lantai ruang tamu. Kami bukan dihujani air, tentu tidak. Hujan kali ini sungguh di luar nalar namun itu nyata.

Aku merasakan hal itu tak lama lagi terngiang di ingatanku atas ucapan ibuku tadi. Aku hanya menunggu giliran bukan antrian, tak ada kata menyesal dan takut untuk hidup dengan landasan kebenaran melindungi tanah suci dan Masjidil Aqsa mulia.

Aku pun ketika itu menjadi superhero dengan keberanian yang sifatnya sementara, aku hanyalah manusia, aku menangis dan mendekati ibu, kakak dan kedua adikku. Kami saling menatap dan berpelukan menguatkan pada kondisi saat ini.

Satu yang menguatkanku yaitu almarhum ayahku yang telah disiksa dan ditembak mati oleh mereka karena mempertahankan tanah kelahiranku. Aku harus kuat seperti ayah dan orang-orang terdahulu membela Palestina.

Cerita ini belum berakhir, beberapa rumah dari temanku, tempat kami bermain telah hancur oleh rudal mereka. Temanku semuanya meninggal bersama keluarganya tak tersisa hanya satu adik kecil mungil yang selamat dengan luka parah dan darah menjadi penutup tubuhnya yang layu tak berdaya.

Aku sedih duka bersama keluargaku mendengar berita itu dari tetanggaku yang menyaksikan kejadian tersebut. Ku tatap bangunan itu tak jauh dari tempatku berdiri, mataku berkaca-kaca menunduk pilu, tak diundang air mataku mengalir membasahi kedua pipiku hingga menghujam jatuh perlahan ke tanah yang berdebu tempatku berpijak.

Baca juga  Fullday di Era Digital: Bagaimana Teknologi Berperan dalam Meningkatkan Pengalaman Belajar 

Tetapi, mengapa semua dunia membalikkan kebenaran menuduh pejuang teroris dan menyerang dahulu. Berita itu hanya boneka milik zionis, dan menggapa dunia diam terhadap hal serius ini. Tidak, aku dan keluargaku mengungsi ke tempat yang lebih aman atas arahan petugas dan beberapa wartawan yang menemui ibuku.

Siang menjelang sore, sore menjelang malam dan seterusnya ternyata kebrutalan zionis semakin menjadi dan bahkan lebih ganas yang diperkirakan. Hampir kurang 1 hari korban telah mencapai 500 jiwa dan ratusan lainya terluka. Bahkan yang tertimbuni tiada diketahui jumlahnya.

Baca juga: Korban Tewas Palestina Meningkat 

Aku termenung diam menatap bangunan yang mulanya cantik, indah, kokoh tempatku bermain kini bagaikan bangkai bangunan mati yang bersuara. Menyuarakan bukti kebenaran atas kebiadaban Zionis Israel terhadap rakyat Palestina.

Mereka menargetkan warga sipil, perempuan dan anak-anak sungguh memalukan tak berdaya. Itu yang saya dengar dari beberapa media dan junalis yang menghampiri kami untuk memberikan makanan dan menanyakan kabarnya. Termasuk juralis dari Indonesia untuk Gaza Palestina mereka Bang Muhammad Hosein, Bang Onim dan lainnya.

Malam hari mencekam rudal terus diluncurkan. Bangunan berjatuhan, asap kebal hitam menggumpal di langit Gaza, Sang Jago Merah terus melalap apa yang ada didekatnya tanpa pandang bulu. Pemandangan yang sangat memilukan, tidak hanya itu kami telah diputuskan listrik, air bersih, obat-obatan dan bantuan masuk ke Gaza dihadang, tidak berprikemanusiaan.

Netenyahu dan sekutunya mengatakan bahwa kami rakyat Palestina pantas medapatkannya karena lebih rendah dari binatang. Sungguh merekalah yang pantas mendapatkan julukan serupa “binatang”.

Peristiwa itu disebut dengan Genoside yaitu membunuh perlahan dan menghabiskan keakar-akarnya generasi penerusnya tak tersisa. Ini sangat kejam lebih kejam dari cerita pembantaian yang pernah saya dengar di dunia. Penjara terbesar ya itu Palestina, tanah kami, pantaskah aku yang harus pergi.

Apakah arti kebebasan untukku dan Masjidil Aqsa Palestina tidak ada di kamus kehidupanmu? Wahai dunia, ini pesan untukmu….

Yakinlah Palestina pasti merdeka, merdeka selamanya.

#FREEPALESTINE

Penulis : Abd Manap

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru