email : [email protected]

25.9 C
Jambi City
Kamis, April 25, 2024
- Advertisement -

2023, Endogenik Politik Indonesia

Populer

Oleh : Hendri Yandri *

 

ce qui s’est passé aujourd’hui est une répétition du passé

Pepatah Perancis itu menegaskan bahwa apa yang ada di dunia ini hanya pengulangan belaka. Kenapa tidak? Soalnya peristiwa demi peristiwa yang terjadi dari tahun ke tahun hanyalah rentetan kejadian yang terus berulang. Pepatah ini hendak mengajarkan pada manusia bahwa jangan merasa hebat, toh apa yang dialami hari ini, juga telah dialami oleh umat-umat terdahulu. Perang, konflik, kerusuhan, penyimpangan sex, masalah degradasi moral, kemajuan pembangunan, kesenjangan sosial, kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah satu kesatuan dengan kondisi masa lalu yang telah terjadi sejak abad pertama manusia diciptakan. Hal ini menegaskan satu kodifikasi atas perulangan peristiwa itu, dan bahkan tidak sedikit yang kejadiannya sama, mirip dan hampir serupa, bedanya hanyalah pada aktor, tempat dan waktu.

Kodifikasi secara endogenik menyiratkan satu fakta bahwa secara sadar atau tidak manusia adalah aktor utama dalam pelaku sejarah peradabannya. Penciptaan alam semesta oleh Yang Maha Kuasa merupakan objek bagi manusia untuk mengeolahnya sesuai dengan keinginan. Alam yang luas sejatinya menjadi tempat bereksperimen guna pencapaian kesejahteraan hidup, tidak hanya untuk manusia tapi juga makhluk lain yang ada. Keserasian, keseimbangan, dan keadilan adalah perwajahan sifat Tuhan dalam mendelegasikan kekuasaannya kepada manusia agar alam ini dikelola secara adil dan seimbang.

Keseimbangan tatakelola sumber daya alam mesti diyakini sebagai prasyarat tahniah Tuhan kepada manusia. Bagaimana tidak? Sebab Tuhan telah memberikan semuanya bagi umat manusia agar hidup makmur dan tentu saja agar memakmurkan alam ini dengan sifat dan perbuatannya. Akan tetapi, faktanya tidak semua yang diperintahkan Tuhan berjalan sesuai rencana, manusia justru menginginkan sesuatu yang lebih dan lebih. Manusia dengan tabiatnya tidak pernah merasa cukup atas yang telah dimiliki, insting ini mendorong manusia untuk mengambil alih daulat Tuhan sehingga banyak sejarah mencatat manusia me-Nuhankan dirinya.

Baca juga  Ketua DPD Minta Panglima TNI Fasilitasi Relawan Kemanusiaan MER-C Masuk Palestina

Lihatlah Namrud, apa yang telah mendorongnya untuk menjadi raja dan dewa? Sampai sifatnya sebagai manusiawi tergantikan oleh tamak dan serakah. Tidak itu saja, budaya inces dengan ibunya adalah jalan lain yang ditempuhnya agar puas hasrat kemanusiaannya? Bukankah pada peristiwa hari ini begitu banyak kejadian serupa? Bapak menghamili anaknya, mertua selingkuh dengan menantu, kakak melahirkan anak dari adik kandungnya. Mereka inilah pewaris silsilah Namrud jaman sekarang. Lihat pula Fir’aun? Semua sepakat bahwa ia adalah raja di atas dewa. Ia menuhankan dirinya sendiri dan berusaha menjadi Tuhan itu sendiri. Kezaliman yang dilakukan Fir’aun menjadi tesa bagi pemimpin hari ini, bahwa setiap pemimpin yang zalim adalah Fir’aun-Fir’aun lain yang menjadi raja. Kedua aktor di atas hanyalah bukti dalam perwajahan manusia selama berabad-abad lamanya.

Itulah potret endogenik manusia sepanjang sejarah peradabannya dan anehnya potret ini ada dalam perjalan bangsa Indonesia, di mana peran-peran kezaliman, kerusakan moral dan keserakahan seolah menjadi perilaku presisi bagi setiap individu yang ingin menuhankan dirinya. Perilaku ini akan semakin menyeruak jelang pemilu 2024 mendatang. Kodifikasi dalam afiliasi politik bisa jadi akan semakin parah, di mana peristilahan cebong, kampret, kadrun dan masih banyak lagi akan semakin menjadi-jadi.

Sampai detik ini, perdebatan elit politik Indonesia tidak menyentuh perihal substansi bangsa. Tentang bagaimana bangsa ini bisa berdiri dengan kaki sendiri tanpa harus menggantungkan nasib pada negara lain, tentang bagaimana Indonesia mandiri dalam ketersediaan pangan yang kini kembali impor 500 ribu Ton, tentang bagaimana sumberdaya alam yang melimpah dikelola dengan baik dan benar tanpa mesti mengorbankan kelestarian lingkungan, tentang bagaimana posisioning kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif tanpa perlu terpengaruh oleh negara adidaya, dan masih banyak lagi sengkarut bangsa yang layak untuk dicarikan solusinya oleh elit negara ini.

Baca juga  PSI Kembali Kehilangan Kader, Peneliti TII: Bukan Suatu Hal yang Baru

Politik Indonesia tidak mesti dihiasi oleh festivalisasi dagelan, kasus pemberian bantuan menggunakan dana BAZNAS oleh Ganjar, Politik indentitas ala Anies Baswedan atau mempertahankan status quo politik orang-orang tua. Sudah saatnya Indonesia menjadi negara besar dengan segala kapasitasnya, menjadi negara yang mampu menjaga keseimbangan dunia, menjadi negara yang kuat secara ekonomi, politik dan militer.

Namun semuanya kembali pada cita-cita dasar sebagai sebuah negara bangsa, meski secara sadar harus diakui butuh energi besar untuk mewujudkannya. Semoga diawal tahun baru ini semuanya punya mimpi yang sama untuk Indonesia. Selamat memasuki tahun 2023, tahun Politik Endogeniknya Indonesia.

*Penulis CEO Oerbanesia Cyber Media

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru