Oleh : Hendri Yandri *
Ditengah kedukaan bangsa akibat musibah jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 tujuan Pontianak pada Sabtu (09/01) kemaren membuat komponen bangsa fokus pada penanganan dan pencarian bangkai pesawat beserta para penumpang yang ada dalam manifest SJ-182. Beberapa tim dari Basarnas, TNI/Polri, termasuk para nelayan bahu membahu mencari kepingan pesawat yang mungkin masih bisa ditemukan. Pesawat yang sudah berumur 26 tahun tersebut hilang kontak pada pukul 14.40 WIB dari Bandara Soetta menuju Supadio Pontianak sekitar empat menit terbang. Data dari radar flight menyatakan bahwa pesawat sempat terbang di ketinggian 10.000 kaki, kemudian turun menjadi 250 kaki sebelum akhirnya hilang.
Tim gabungan telah menemukan black box untuk di marking dan memastikan data, apa yang menjadi penyebab utama jatuhnya pesawat pabrikan Boeing seri 737-500 tersebut. Black box terdiri dari dua bagian yakni; Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR). FDR berfungsi menyimpan data penerbangan, sedangkan VCR menyimpan percakapan antara pilot kepada krunya atau menara pengawas yang terekam selama beberapa waktu sebelum kecelakaan. FDR ini mencatat informasi 88 parameter penerbangan, mulai dari kompas, arah, ketinggian, hingga kecepatan pesawat di udara, dan sebagainya, yang bersifat teknis. Apa yang terjadi selama penerbangan dalam kurun 25 jam terakhir akan direkam oleh alat ini.
Usaha tim SAR dengan berbagai anggota tim lainnya patut diacungkan jempol, karena tanpa lelah melakukan penyisiran korban dan bangkai pesawat. Mengangkut 62 orang penumpang yang terdiri dari 50 orang penumpang, 6 orang awak serta 6 awak ekstra. Pihak kepolisian telah meminta keluarga korban untuk melaporkan data anggota keluarganya yang ikut menjadi penumpang untuk dilakukan pencocokan data ante mortem. Musibah yang terjadi diawal tahun ini tentu membuat bangsa berduka, bahkan presiden Jokowi sudah memerintahkan kepada Tim SAR untuk sesegera mungkin mengambil langkah-langkah penyelamatan dan pencarian. Kesigapan seperti ini sangat diperlukan oleh bangsa yang luas dan komplek ini, apalagi ini soal rasa kepedulian dan kemanusiaan.
Rasa peduli yang tinggi ternyata menjadi sarana membangun branding bagi sebagian kalangan, seperti peduli banjir, korban kebakaran, bencana alam dan sejenisnya. Banyak tokoh atau partai politik yang peduli untuk memberikan bantuan guna meringankan beban para korban. Meskipun kadang, diselipi bumbu kampanye terselubung untuk popularitas serta elektabilitas. Bahwa tidak ada yang betul-betul murni memberikan bantuan, semua ada hitungannya, apalagi hitungan suara saat pemilu nanti.
Tri Rismaharini misalnya, belum satu minggu dilantik sebagai menteri sosial langsung melakukan gebrakan pengentasan masalah sosial. Tak tanggung-tanggung kepeduliannya langsung dijantung ibukota negara, Jakarta. Tentu apa yang dilakukan oleh Risma ini akan menjadi perhatian publik, apalagi pasca kasus korupsi yang menimpa menteri sosial sebelumnya Juliari Batubara. Bisa jadi langkah Risma ini untuk membangun citra Kementerian Sosial yang terpuruk akibat kasus yang menimpa lembaga negara ini.
Langkah Risma tentu saja tidak terlepas dari langkah seorang politisi, sebagai seorang kader partai politik PDIP, Risma paham betul apa yang dilakukannya pastilah mempunyai hitungan politik. Apalagi Jakarta adalah batu loncatan untuk posisi politik yang lebih tinggi. Bisa jadi ini sebagai warming up menjelang pilgub DKI Jakarta atau lebih dari itu untuk persiapan pilpres 2024. Sebagai mantan walikota dua periode, Risma mempunyai pengalaman dibidang birokrasi dan beberapa pokok masalah yang terjadi ditengah masyarakat. Tetapi sekali lagi Risma tidak sekedar menjalankan tugasnya sebagai seorang menteri, tapi juga sebagai kader partai politik yang menjadi pemenang pemilu 2019 yang lalu.
Risma terlihat kasak-kusuk, dan mengulang langkah Jokowi sebelum menjadi presiden 2014 yang lalu. Meskipun dibantah, tapi publik sudah bisa membaca arah dan tujuan, meski samar namun jelas. Samar karena Risma memberikan bantahan, namun jelas karena gelandangan yang didatangi oleh Risma memberikan keterangan yang berbeda.
Rivalitas jelang Pilgub DKI ataupun Pilpres 2024 terlihat jelas, beberapa tokoh tengah mencari panggung untuk menguji popularitas dan sekaligus elektabilitas, sebut saja Anies Baswedan, Tri Rismaharini, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil. Tengah membangun citra sepanjang pekerjaannya sebagai gubernur atau menteri. Tokoh-tokoh lain juga tengah membangun pencitraan meski tidak terlalu terlihat. Suksesi politik lima tahunan itu tampak masih lama, masih tiga tahun lagi tapi logika politik perlu dibangun untuk menciptakan logistik.
Langkah Risma dirasa kurang beruntung jika dikaitkan dengan fenomena alam, cuaca hujan ekstrim, puting beliung, banjir, longsor dan berbagai musibah lainnya menjadi pertanda buruk baginya untuk melangkah. Cuaca ekstrim akibat la nina ekstrim telah membuat beberapa wilayah mengalami musibah.
Jambi adalah contoh wilayah yang mengalami dampak dari cuaca ekstrim ini. Lebih dari lima kecamatan dalam kota Jambi terendam banjir pasca hujan dua hari berturut-turut. Kecamatan tersebut adalah Alam Barajo, Jambi Timur, Kota Baru, Jelutung dan Danau Sipin. Hujan yang terjadi sejak Rabu malam dan berlanjut Kamis pagi pada (31/12/2020) membuat masyarakat tidak bisa merayakan pergantian tahun.
Kejadian yang melanda kota Jambi ini lebih luas dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Pertanyaannya adalah, apakah itu semua akibat cuaca ekstrim atau hilangnya wilayah resapan akibat pembangunan?
Pemerintah kota Jambi mesti melakukan kajian yang menyeluruh atas bencana banjir yang terjadi, sehingga langkah antisipasi dan mitigasi banjir dapat diterapkan di kota Jambi, dan masyarakat dapat hidup dengan tenang, tanpa mesti kasak-kusuk mengungsi seperti gelandangan. Sama halnya dengan Risma yang tak perlu kasak-kusuk menemui gelandangan karena ada tupoksi pemerintah daerah yang lebih tepat dalam mengatasi masalah gelandangan.
Penulis CEO Oerbanesia Cyber Media