email : [email protected]

26.7 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

Begal Politik

Populer

Oleh : Hendri Yandri *

Adagium yang mengatakan “jika dua orang ahli hukum berdebat, maka akan ada tiga pendapat”, merupakan satu fase menjelang kematangan politik. Adagium diatas sangat tepat menggambarkan hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang baru selesai. Kepala Staf Kepresidenan terpilih mengalahkan Marzuki Ali untuk memimpin partai berlambang mersi itu. Terpilihnya Moeldoko sebagai ketua partai membuktikan kepada publik tentang isu kudeta yang akan terjadi awal bulan Februari lalu. Saat itu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sempat mengirimkan surat protes kepada presiden Jokowi, tentang adanya rencana kudeta didalam partai Demokrat yang digawangi oleh orang dalam istana, meski dibantah langsung oleh Moeldoko kala itu, namun faktanya KLB tetap berjalan dan mendapuk mantan panglima TNI itu. sebagai ketua umum.

Kodifikasi politik yang terlihat sederhana itu mulai menampakan keruwetan, sebab pada akhirnya kedua kubu akan menempuh jalur hukum untuk membuktikan siapa sebenarnya yang paling berhak memimpin partai Demokrat. Meskipun kini saling hujat, saling melempar argument dan saling klaim, pastinya putusan Mahkamah Agung-lah yang menjadi pijakan hukum.

Pengamat politik Dr. Salim Said dibuat bingung dengan kondisi yang ada, sebab Salim paham betul bagaimana seorang ahli strategi sekelas SBY terlihat tak berdaya mengahadapi mantan anak buahnya itu, padahal rekam jejak Moeldoko pasti sudah dimiliki oleh SBY, tapi akhirnya mengambil alih kepemimpinan partai yang dibuatnya. Aneh bin ajaib, ketika SBY seolah kecolongan, dan tidak melakukan tindakan preventif untuk mencegah kisruh ini terjadi, tapi sekali lagi Dr. Salim Said-pun dibuat bingung.

Drama KLB yang terjadi di Sibolangit justru terlihat seperti sengketa perebutan prersiden mahasiswa, ketika satu pasang calon menang, maka akan ada calon tandingan dengan klaim yang sama, yakni sama-sama presiden mahasiswa. Dulu peristiwa ini sering terjadi di kampus-kampus, perebutan kursi presiden mahasiswa dengan munculnya presiden tandingan.

Langkah yang diambil oleh pendukung Moeldoko tentu saja sudah diperhitungkan secara matang, apakah akan berdampak positif pada dirinya, atau justru memperburuk citranya didepan publik. Banyak tokoh menyayangkan langkah Moeldoko ini, karena akan merusak citranya dan citra presiden Jokowi, karena dia adalah kepala lembaga negara yang sangat strategis selama ini. Tuduhan dialamatkan kepadanya dengan berbagai isu, termasuk ingin mencalonkan diri pada pilpres 2024 mendatang.

Bagi AHY, sampai detik ini simpati masih saja berdatangan kepadanya, seolah AHY adalah korban. Mirip ketika tahun 2004 yang lalu, ketika SBY di “pecat” oleh Megawati. Saat itu, masyarakat begitu simpati kepada SBY, dan akhirnya membuahkan hasil, SBY menjadi prresiden. Apakah ini skenario lain yang tengah dimainkan oleh para arsitek politik itu, entahlah.

Penulis melihat, apa yang dialami oleh partai Demokrat lebih kepada keberlangsungan demokrasi di Indonesia, sebab dalam demokrasi justru yang dilakukan oleh kelompoknya Moeldoko akan diikuti oleh kalangan lain untuk mengambil kursi kepemimpinan sebuah partai politik. Dengan argumentasi yang sama, siapapun bisa membegal partai politik yang menjadi incarannya. Itu tentu tidak sejalan dengan ruh demokrasi yang dianut, sebab kontestasi sebenarnya adalah saat semua orang memperoleh kesempatan yang sama untuk menjadi ketua partai politik.

Itulah kenapa peristiwa yang terjadi dikancah politik di Indonesia hari ini memerlukan pendalaman dan pematangan bagi setiap warga negara untuk dewasa dalam menerima perbedaaan, serta menempuh  jalur yang konstitusional dalam menyalurkan aspirasi politiknya.

Semoga kedepan semuanya kembali merajut bingkai demokrasi yang mulai terkoyak.

Penulis CEO Oerbanesia Cyber Media

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru