Jakarta, Oerban.com – Dicabutnya Revisi Undang-Undang Pemilu dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021, berdampak pada peliknya jalan menuju puncak pemilihan di 2024, salah satunya adalah soal Penjabat (Pj) kepala daerah yang akan ditunjuk menggantikan kepala daerah terpilih di 2022 dan 2023.
Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, mengatakan jika setidaknya ada sekitar 270 daerah yang akan dipimpin oleh Pj kepala daerah jika tidak ada Pilkada di 2022 dan 2023. Separuh dari daerah di Indonesia.
Menurut Mardani, hal tersebut jelas telah merampas hak rakyat untuk menentukan pilihannya. Selain itu, dirinya juga meragukan netralitas Pj yang akan dipilih nanti, sehingga dikhawatirkan dapat menjadi problem lain terkait legitimasi hasil Pemilu 2024.
“Perlu diingat para pejabat ini bukan hasil dari pemilu. Secara tidak langsung memicu problem legitimasi dan memantik masalah netralitas baik di Pemilu maupun Pilkada 2024. Berpeluang besar membuat jalannya pemerintahan terganggu,” Kata Mardani lewat akun twitternya pada Rabu (17/3).
Sebagai contoh, lanjut Mardani, saat ini ada 24 Plt gubernur karena kosongnya jabatan di 2022 & 2023. Artinya, akan sulit mencari pejabat pimpinan tingkat madya di pemerintahan untuk mengisi kursi tersebut. Belum lagi pejabat pimpinan tinggi pratama untuk mengisi kursi Walikota/Bupati.
Anggota Komisi II DPR RI ini juga menegaskan jika tidak ada yang bisa menjamin para Pejabat tersebut tidak menunjukkan kesetiaan kepada pihak yang menunjuk. Pj Gubernur oleh Presiden, PJ Walikota/Bupati oleh Gubernur.
Terkait netralitas ASN sendiri, Fraksi PKS di DPR RI mengajukan beberapa usulan. Pertama adalah sosialisasi yang masif, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran ASN, dalam hal ini pengawasan dari masyarakat juga diperlukan.
Lalu, PKS juga menyarankan adanya sistem teknologi informasi berbasis aplikasi, sehingga memudahkan masyarakat untuk melaporkan foto/video kegiatan ASN yang tidak netral. Hal itu bisa menjadi bukti sah bagi KASN merekomendasikan Kepala Daerah (atasannya) untuk menjatuhkan sanksi.
Kemudian sanksi untuk ASN yang tidak netral diperkuat, mulai dari penurunan jabatan/golongan, diberhentikan dari ASN dan/atau pidana kurungan, sehingga menimbulkan efek jera. Selama ini tidak efektif karena sanksi umunya bersifat administratif (teguran).
“Untuk Kepala Daerah/atasan yang tidak mem follow up sanksi ASN yang tidak netral dalam batas waktu yang ditentukan juga diberikan sanksi,” Pungkas Mardani.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini