Jakarta, Oerban.com – Anggota Komisi VI DPR RI Rafli menilai keputusan pemerintah untuk mengimpor beras sangat kontraproduktif dengan rencana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), bahkan bertolak belakang dengan Program Strategis Nasional (PSN) Food Estate yang pernah digaungkan Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, adanya agenda impor beras jelang panen raya membuat banyak orang sedih, terlebih jika melihat sumber daya alam yang melimpah di Indonesia saat ini.
“Kita ketahui Indonesia pernah swasembada beras, jika saat ini pemerintah melakukan impor beras, berarti ada yang keliru dengan kebijakan,” Ujar Rafli seperti yang diberitakan oleh Parlementaria.
Rafli menilai jika hal itu bertolak belakang dengan program strategis nasional food estate, yang bertujuan untuk mewujudkan swasembada pangan. Padahal, lanjut dia, Presiden Jokowi sendiri yang mencanangkan food estate. “Ini jelas kontra dengan rencana PEN di tengah pandemi,” Jelas Rafli.
Politisi PKS ini mengatakan jika saat ini stok beras sebenarnya aman. Masalah yang sebenarnya harus diselesaikan yaitu manajemennya. Pembangunan infrastruktur pertanian, teknologi dan edukasi ke petani bisa meningkatkan hasil produksi yang membuat petani sejahtera dan stok nasional akan terpenuhi dangan catatan di pasar juga diawasi.
Rafli juga mengungkapkan bahwa beberapa daerah di Indonesia saat ini hampir memasuki masa panen. Untuk itu, ia meminta pemerintah meninjau dan mengkaji ulang kebijakan impor beras. Sebab hal itu sangat berdampak kepada penurunan harga jual hasil panen petani, serta membuat mental petani terus tertekan.
“Ingatan masyarakat kita juga masih segar dengan pesan Presiden Jokowi untuk cinta produk lokal, dan benci produk asing. Jika impor dilakukan, dimana moral kita?” jelasnya.
Berdasarkan catatan BPS, pergerakan produksi beras pada 2020 lebih tinggi dari 2019. BPS juga merilis potensi peningkatan produksi padi pada 2021, yaitu sub-round Januari-April 2021 sebesar 25,37 juta ton GKG, mengalami kenaikan sebanyak 5,37 juta ton atau 26,88 persen dibandingkan sub-round yang sama pada tahun 2020 sebesar 19,99 juta ton GKG.
“Miris, jika ada yang mencari keuntungan di tengah penderitaan rakyat yang hidup dari hasil pertanian, bahkan ini mencederai cita-cita swasembada pangan,” tutup Rafli.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini