Kota Jambi, Oerban.com – Sebagai salah satu wujud permasalahan yang mengemuka di Indonesia, perkawinan anak merupakan persoalan yang dapat dikurangi dengan mengikutsertakan berbagai elemen mulai dari membangun kesadaran kaum muda, masyarakat, para orang tua, hingga pemangku kebijakan.
Hal ini penting dilakukan karena pada dasarnya, perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi anak, pembatalan pilihan dan peluang, membatasi masa remaja anak perempuan yang semestinya menjadi waktu untuk perkembangan fisik, emosional, dan sosial sebelum mereka memasuki usia dewasa (Plan International SOTWG, 2012). Sejalan dengan hal tersebut, maka sudah sewajarnya upaya penghapusan perkawinan anak di Indonesia semakin digalakkan di berbagai daerah.
Tak hanya sebatas itu, perkawinan anak juga rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan pelecehan, resiko kematian ibu dan bayi, kerusakan alat reproduksi, stunting, serta menambah panjang rantai kemiskinan. Data dari Plan Indonesia mengungkapkan, Indonesia menempati urutan ke 2 di Asean dan urutan ke 8 di dunia untuk kasus perkawinan tertinggi. Sedangkan menurut data badan pusat statistik (BPS) 22 provinsi di Indonesia memiliki tingkat angka perkawinan lebih tinggi dari angka nasional di tahun 2019. Dalam konteks ini, anak yang lebih rentan terhadap perkawinan anak adalah anak perempuan, anak yang tinggal di keluarga miskin, di pedesaan dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Dengan kondisi pandemi Covid-19 yang melemahkan segala aspek, utamanya ekonomi, membuat banyak orang tua yang merelakan putrinya dinikahkan. Sebab, akar permasalahan yang dipicu oleh kekerasan berbasis gender ini juga turut mengartikan bahwa anak perempuan menjadi salah satu beban keluarga. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka permohonan dispensasi perkawinan di kantor urusan agama. Padahal, pemerintah melalui undang-undang no.16 tahun 2019 telah menetapkan angka minimal perkawinan menjadi 19 tahun, yang sebelumnya berusia 16 tahun. Namun, kelonggaran dalam aspek ini tetap saja dapat dimanfaatkan oleh sebagian orang.
Di provinsi Jambi, kondisinya tak jauh berbeda. Sebagai provinsi kedua dengan angka kenaikan tertinggi di Indonesia, kondisi ini jelas mengkhawatirkan. Representasi tersebut dapat dilihat dari masyarakat di desa Pulau Raman, kabupaten Batang Hari, Jambi. Dari sensus internal, komunitas Beranda Perempuan, desa ini dihuni oleh 1556 orang yang rata-rata hanya tamat SD dan SMP sekitar 40%. Dalam sebuah video yang dirilis oleh narasi Newsroom di kanal YouTube berjudul “Kawin anak, kalau tak diubah tujuh turunan begini terus” pada April 2021 lalu, bercerita tentang perkawinan anak di Pulau Raman. Video tersebut sudah ditonton sebanyak 156rb kali saat tulisan ini dibuat.
Dalam video tersebut, Lia (23) bercerita bahwa ia menikah pada usia 17 tahun karena orang tuanya tak mampu menyekolahkan dia. Ada raut penyesalan dalam wajahnya, ia hanya berharap anaknya tidak bernasib sama dengan dirinya, dan mampu mengejar cita-citanya. Lain lagi dengan Erna (23) yang menikah pada usia 16 tahun, meski sudah memiliki seorang anak, ia memilih bercerai dengan suaminya karena tak sanggup menjadi korban KDRT (ditampar dan diterjang) oleh mantan suaminya. Ia juga merasa kaget saat setelah menikah, karena harus diam dirumah melayani suami sedangkan keinginannya juga mau tetap bermain dengan teman-temannya.
Ironisnya, masalah perkawinan anak ini sudah seperti lingkaran setan. Kompleksitas masalah mulai dari faktor ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan ikut mempengaruhi. Pulau Raman sendiri memiliki akses yang keterjangkauan pendidikan yang sulit. Karena di desa tersebut hanya ada satu sekolah dasar, untuk dapat melanjutkan pendidikan, jarak tempuh anak-anak menjadi problem. Belum lagi budaya masyarakat yang menormalisasi perkawinan anak. Dibutuhkan kerja sama antar berbagai aspek untuk dapat menanggulangi dan menyaksikan senyum anak-anak di Pulau Raman. Apalagi, dengan meningkatnya penggunaan gawai dan sekolah daring, anak-anak lambat laun akan mudah termakan konten-konten yang mengarahkan mereka pada hubungan dengan lawan jenis.
Suci Apriani, ketua kelompok perlindungan anak desa di Lombok dalam diskusi pencegahan perkawinan anak pernah bercerita, untuk dapat mengurai berbagai kasus perkawinan anak, diperlukan berbagai cara. Ia dan rekan-rekannya secara swadaya menekan angka perkawinan anak dengan membuat program-program yang dapat meningkatkan kreativitas anak yang dapat mengalihkan perhatian anak. Diantaranya, menghidupkan puskesmas ramah anak, membuat berbagai kegiatan melalui KPAD, serta bersama aparat desa membuat aturan khusus tentang perkawinan anak.
Momentum hari anak Nasional yang jatuh pada hari ini, 23 Juli 2021 sudah seharusnya menjadikan kita menyadari akan hak-hak anak. Anak-anak berhak mendapatkan kasih sayang, akses pendidikan dan akses kesehatan. Menikahkan anak karena permasalahan ekonomi juga bukan merupakan solusi, dukung anak untuk mendapatkan masa depan yang baik, sebab melalui merekalah masa depan bangsa ini akan dititipkan.
Editor : Renilda Pratiwi Yolandini