(Catatan Fahri Hamzah atas Pidato Pengukuhan Guru Besar Jaksa Agung Prof. Dr. ST Burhanuddin)
Jakarta, Oerban.com – Saya termasuk yang senang dengan berita bahwa para jaksa di KPK memahami perlunya “Restorative Justice” sebagai ide Jaksa Agung. Saya ingin mendalami ini sebagai tonggak penting saat Lapas penuh oleh kasus2 tak perlu. Selamat kepada Prof ST Burhanuddin.
Melanjutkan pembacaan saya tentang Pidato Pengukuhan Jaksa Agung Prof. Dr. ST Burhanuddin, sebagai mantan pimpinan komisi hukum DPR RI (2009-2014) saya tertarik memberikan perspektif singkat melalui tulisan ini.
Saya membaca utuh pidato pengukuhan Guru Besar Jaksa Agung di UNSOED 10/9/2021 kemarin. Pidato ini memberi harapan bagi masa depan penegakan hukum demokratis di Indonesia, sesuatu yg sedang ditunggu. #JARestorativeJustice
Jaksa Agung mengangkat judul “Hukum Berdasarkan Hati Nurani: Sebuah Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif”. Judul yang menjawab kegelisahan kekakuan penerapan hukum selama ini.
Pidato Jaksa Agung ini tidak hanya memberikan kita optimisme bahwa hukum akan berjalan di atas nalar negara hukum demokratis yang baik, tapi juga mengukuhkan sikap kepada institusi Kejaksaan RI secara khusus dan institusi hukum secara umum bahwa hukum tidak terjebak pada kekakuan pemidanaan.
JA mengawali refleksinya dari pikiran Gustav Radbruch terkait tujuan hukum yaitu: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang ketiganya sering mengalami ketegangan prioritas.
Saya merasa penting untuk menghadirkan secara utuh pikiran-pikiran dasar jaksa Agung dalam pidatonya agar kita bisa menyelami apa yang ada di dalam kepala orang nomor satu di institusi penuntutan di Republik ini.
Jaksa Agung menyampaikan akan selalu timbul gap keseimbangan tujuan hukum, khususnya tujuan keadilan hukum dengan kepastian hukum. Semakin condong neraca tujuan hukum menuju nilai keadilan hukum, maka neraca itu akan semakin menjauhi nilai kepastian hukum dan demikian sebaliknya.
Bagaimana agar ketiga tujuan hukum dapat tercapai dlm satu keseimbangan neraca tanpa harus ada nilai yg dikorbankan? Menjawab ketegangan inilah yang menjadi dasar eksplorasi Jaksa Agung dlm seluruh Pidatonya.
Jaksa Agung mengatakan untuk mencapai keseimbangan tujuan hukum yang hakiki, tak bisa lepas dari nilai-nilai luhur yang ada dalam suatu bangsa. Terkait hal ini Jaksa Agung mengutip pendapat Von Savigny yg menyebut hukum didasarkan pada karakter dan jiwa kebangsaan bangsa yang bersangkutan.
Jiwa Kebangsaan yang dimaksud Jaksa Agung adalah Pancasila sebagai norma dasar negara yang semua norma yang menjadi derivasinya harus menjadikan Pancasila sebagai sumber dasar filosofinya.
Pancasila yang menjadi Jiwa Kebangsaan adalah Living Law yang penuh muatan nilai moral sebagai refleksi atas kebudayaan masyarakat. Hukum adalah bahtera yang berlabuh di atas samudera moral dan etik, tanpa moral dan etik, hukum tak mungkin capai tujuan.
Lebih lanjut Jaksa Agung menyampaikan benar bahwa keadilan hukum adalah tujuan utama dari hukum, tapi tak berarti tujuan hukum lain seperti kepastian dan kemanfaatan hukum harus terpinggirkan. Intinya harus seimbang.
Ketika keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum saling menegasikan maka hati nurani menjadi jembatan untuk mencapai neraca keseimbangan. Hati nurani memang bukan tujuan hukum, tapi menjadi katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum secara bersamaan.
Komponen hati nurani yg memiliki andil besar dalam mewujudkan keadilan hukum inilah yang dimaksud Jaksa Agung dalam judul pidatonya yaitu “Hukum Berdasarkan Hati Nurani”. @UnsoedOfficial layak mendapat apresiasi atas #PidatoGuruBesarJA
Semakin tinggi nilai penggunaan hati nurani, makin tinggi pula nilai keadilan hukum yg dapat diwujudkan. Hukum tanpa keadilan adalah sia-sia, dan hukum tanpa tujuan/kemanfaatan hukum juga tak bisa diandalkan.
Dasar epistema inilah yang bisa menjelaskan pentingnya pergeseran paradigma hukum dari keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif (pemulihan). Saya menulis ulang beberapa point penting dari pidato pengukuhan Guru Besar Jaksa Agung, karena inilah mimpi kita semua.
Kita sudah terlalu lama tidak hanya mengadopsi tapi juga terus menjalankan dan enggan untuk beranjak dari sistem hukum kolonial yang orientasi pada penghukuman. Kita sudah merdeka bahkan beralih menjadi negara demokrasi modern tapi hukum masih otoriter.
Di akhir masa jabatan saya sebagai wakil ketua DPR di penghujung 2019, hampir saja kita memiliki sistem hukum baru yang menjadi “das solen” dari pikiran-pikiran Jaksa Agung dalam pidatonya ini. Sebuah hadiah yang tertunda.
Revisi UU KUHP adalah jawaban untuk merubah tidak hanya watak hukum tetapi juga watak penegak hukum kita. Revisi UU KUHP kita telah mengadopsi sistem hukum modern dengan rekodifikasi dan reunifikasi. Hampir saja selesai tapi mengalami salah paham.
3 Buku KUHP telah kita gabung menjadi 2 buku, di Buku Kesatu seluruh falsafah yang akan mengubah watak hukum telah berubah secara mendasar, tujuan pemidanaan bergeser dari mengejar keadilan retributif ala kolonial menjadi keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif.
Hukum tak lagi untuk menjera tapi untuk melakukan koreksi, rehabilitasi dan pemulihan yg berkeadilan bagi korban dan juga pelaku. Dalam Buku 1 KUHP baru kita juga telah mengikat aparat penegak hukum agar tidak bisa dengan mudah melakukan pemidanaan, ultimum remidium digaris secara tegas.
Selain revisi UU KUHP, di penghujung 2019 kami juga sudah menyelesaikan Revisi UU Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) yang memasukan Lapas ke dalam hilir Criminal Justice System (sistem peradilan pidana) yang juga harus berjiwa restoratif.
Dua Revisi UU yang gagal disahkan pada penghujung 2019 ini akan menyelesaikan seluruh permasalahan hukum, Over Capacity Lapas semisal tidak akan terjadi yang menyebabkan 48 Korban meninggal di Lapas Tangerang apabila hukum berjiwa restoratif.
Waktu itu, saya membayangkan bahwa kita akan hanya punya 1 hukum pidana (Criminal Code) sebagai rujukan tunggal seluruh pemidanaan. Lalu di hilir kita punya sistem koreksi (lapas) yang modern dan demokratis serta menjunjung tinggi HAM. Sayang sekali tertunda.
Apa yang saya mau katakan adalah bahwa saya menyambut tinggi ketika ide ide besar itu ternyata landas dalam pikiran Jaksa Agung dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya kemarin. Menurut saya ini momen baik.
Jaksa Agung bersama institusinya adalah Dominus Litis (Pengendali Perkara) yang memiliki diskresi (prosecutorial discretion) yang bisa menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Ini angin segar dunia hukum kita.
Untuk itulah pikiran besar paradigma restoratif dan hukum yang berhati nurani dalam pidato pengukuhan Guru Besar Jaksa Agung perlu mendapat respon lanjutan dari Presiden Jokowi, legislator DPR RI dan DPD RI serta kamar yudikatif MA dan MK
Paradigma restoratif dan hukum yang berhati nurani dari Jaksa Agung ini harus diarusutamakan agar menjadi mazhab politik hukum baru dalam Criminal Justice System kita yang modern, demokratis dan lebih memanusiakan manusia. Inilah jalan baru hukum kita. Inilah negara hukum RI.
Saya mengucapkan terimakasih pada Jaksa Agung Prof. Dr. ST Burhanuddin atas pikiran besar ini, mari kita aplikasikan dlm kehidupan nyata, dan selamat atas gelar baru sebagai Profesor ilmu keadilan restoratif di @UnsoedOfficial.
Sumber: fahrihamzah.com
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini