email : [email protected]

29.1 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

Peringati 2 Tahun Jokowi-Ma’ruf, Fadli Zon Luncurkan Buku Berjudul Jubir Rakyat: Melawan Konsolidasi Oligarki

Populer

Jakarta, Oerban.com – Pada tanggal 20 Oktober 2021 kemarin, pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin genap berusia dua tahun. Bertepatan dengan itu, Politikus senior partai Gerindra, Fadli Zon meluncurkan sebuah buku berjudul “Jubir Rakyat: Melawan Konsolidasi Oligarki”.

Fadli dalam keterangan videonya seperti dikutip Oerban pada Kamis, 21 Oktober 2021 mengatakan, pemilihan kata Jubir Rakyat sebagai judul tidak terlepas dari perannya sebagai anggota Parlemen.

“Kenapa judulnya Jubir Rakyat? Sebagai anggota Parlemen, tugas anggota Parlemen adalah bicara, le parle. Tentu dengan tugas-tugas lain seperti membuat undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, ikut menentukan anggaran bersama dengan pemerintah, diplomasi Parlemen dll,” jelasnya.

Meski Parlemen sendiri berasal dari kata bicara, anggota Parlemen tetap tidak boleh asal bicara. Setidaknya menurut Fadli, apa yang disampaikannya bertolak pada dua prinsip. Yang pertama adalah menyuarakan pikiran dan kegelisahan masyarakat.

“Pikiran dan kegelisahan ini bisa kita dengar langsung dari masyarakat, bisa juga kita baca di media-media sosial,” tuturnya.

Lalu yang kedua, dilakukan untuk check and balance. Mengawasi pemerintah dan cabang kekuasaan lain terutama yaitu eksekutif.

“Dengan kata lain, tugas anggota Parlemen adalah menjadi juru bicara rakyat dan mengamplifikasi suara publik. Itu sebabnya buku ini saya beri judul juru bicara rakyat,” sambung Fadli.

Lebih lanjut, mantan Wakil Ketua DPR RI itu mengatakan, Parlemen bukan lembaga penasihat presiden, apalagi lembaga pendukung presiden. Menurutnya, konstitusi Indonesia menghadirkan Parlemen justru untuk mengawasi, mengawal, dan mengontrol pemerintahan yang dipimpin oleh seorang presiden.

Sehingga, tambah dia, seorang anggota Parlemen harus bisa bersikap kritis kepada pemerintah, sebab itu adalah bagian dari mandat konstitusi Indonesia.

Lebih jauh lagi Fadli menjelaskan, pada saat-saat tertentu, sah-sah saja jika anggota Parlemen mendukung kebijakan pemerintah yang bernilai positif dan pro terhadap rakyat.

Baca juga  Cegah Dampak Sistemik Larangan Ekspor CPO, Sultan: Larangan Ekspor CPO Harus Segera Dievaluasi

“Tetapi kalau kita gagal untuk bersikap kritis pada kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat, sebenarnya kita sedang menarik jarum jam kembali ke belakang. Mungkin lebih terbelakang ketimbang pada posisi ketika ada Volksraad di masa pemerintahan kolonial dulu,” terangnya.

Lalu mengenai tambahan judul Melawan Konsolidasi Oligarki, Fadli berpendapat, secara umum pada periode kedua pemerintahan presiden Jokowi, dia melihat jika agenda-agenda serta kebijakan yang diusung, khususnya di bidang ekonomi, sebagian besar ditujukan untuk melayani kepentingan oligarki, bukan kepentingan rakyat.

“Situasi pandemi, alih-alih menghambat konsolidasi oligarki, justru malah mengakselerasi konsolidasi oligarki tersebut,” ujarnya.

Dalam catatan Fadli, ada sejumlah kebijakan besar di periode kedua pemerintahan Jokowi yang bersifat mengkonsolidasi oligarki. Melalui kebijakan itu, eksekutif memperbesar kewenangannya untuk melayani oligarki, sambil menggerogoti fungsi kewenangan Parlemen.

Setidaknya, ungkap Fadli, ada tiga kebijakan yang melayani kepentingan oligarki secara brutal dan mencolok. Pertama Omnibus Law Cipta Kerja, ini adalah undang-undang yang cukup brutal, karena telah memberi presiden kekuasaan legislasi yang sangat besar, sehingga bisa mengubah 79 undang-undang sekaligus.

“Spectrum yang dijangkaunya juga sangat luas, undang-undang ini terdiri dari sebelas klaster, mengatur perizinan usaha, investasi, koperasi, ketenagakerjaan, fiskal, tata ruang, agraria, lingkungan hidup, konstruksi dan perumahan, kawasan ekonomi, hingga barang dan jasa,” tuturnya.

Meski judulnya adalah Cipta Kerja, Fadli menegaskan jika tujuannya adalah melayani pemilik modal dan oligarki. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh UU tersebut bukan menjadi milik pekerja, melainkan milik oligarki yang saat ini menguasai perekonomian Indonesia.

Yang kedua, Perppu Korona atau Perppu No 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease atau Covid-19.

Baca juga  Sahroni Minta Kejagung Percepat Usut Kasus Gagal Ginjal Anak

“Ini (Perppu Korona) telah memberitahu penganggaran yang sangat besar kepada pemerintah, dan memberi hak impunitas kepada para pejabat di sektor keuangan,” katanya.

Fadli sangat menyangkan hal tersebut, pasalnya, di tengah-tengah pandemi seperti saat ini, kekuasaan penganggaran dan pelonggaran defisit APBN yang lebih besar itu justru penggunaan posrinya lebih banyak untuk kepentingan oligarki.

Pada tahun 2020 misalnya, dari tambahan belanja dan pembiayaan APBN sebesar Rp 405,1 triliun untuk penanganan dampak pandemi Covid-19. Insentif perpajakan dan perekonomian nasional besarannya mencapai Rp 220,1 Triliun atau sebesar 54,3 persen dari total tambahan belanja tadi.

“Kita hendak mengatasi darurat kesehatan, tapi belanja terbesar pemerintah justru dialokasikan untuk memberi insentif pada pengusaha. Di saat yang sama pemerintah malah memangkas anggaran kesehatan dari Rp 202,5 Triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 169,7 Triliun pada APBN 2021,” ujar Fadli.

Untuk tahun ini sendiri, lanjutnya, pemerintah lebih memilih menggunakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) APBN 2020 untuk membiayai proyek kereta cepat. Ketimbang menolong 9 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang terancam kehilangan status sebagai Penerima Bantuan Iuaran (PBI) dari negara.

“Jadi rakyat yang sudah ditimpa kesulitan ekonomi, tak mendapat bantuan jaminan kesehatan karena anggaran publik kita lebih suka digunakan untuk melayani kepentingan oligarki,” sebutnya.

Terakhir yang ketiga, ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) itu mengatakan, agenda pemindahan Ibu Kota di tengah pandemi, defisit fiskal, defisit APBN serta jumlah utang yang terus melonjak dengan fantastis, wacana pemindahan Ibu Kota terus-menerus dilempar oleh pemerintah.

“Kalau dulu saya bertanya dari mana anggarannya, maka sesudah saya pelajari lebih jauh wacana ini, pertanyaan yang tepat adalah ke mana dan kepada siapa pemerintah akan memberikan aset-aset negara yang di Jakarta dan sekitarnya,” kata Fadli.

Baca juga  SALING LAPOR, KETUA ALUMNI KAMMI MINTA HENTIKAN PEMBELAHAN

Jika melihat dari draft RUU Ibu Kota Negara, Fadli mengungkapkan, terkait agenda pemindahan, semua aset seperti gedung-gedung perkantoran yang selama ini digunakan oleh kementrian dan lembaga negara, akan dialihkan pengelolaannya kepada menteri keuangan.

Selanjutnya, menteri keuangan bisa melakukan dua mekanisme kepada aset-aset tadi, yaitu menjual atau menyewakannya.

“Saya melihat pola semacam ini akan mengulangi tragedi BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) di masa lalu. Pada mulanya negara menguasai aset BLBI yang sangat besar di tangan BPPN, lalu aset-aset itu dijual kembali pada konsorsium asing dan swasta dengan harga di bawah harga pasar,” urainya.

Melihat itu, Fadli menegaskan jika pertanyaan publik harus berubah. Apakah tujuan pemindahan Ibu Kota adalah untuk memindah tangankan aset-aset yang ada di Jakarta. Atau kepada siapa aset itu akan dialihkan.

“Itulah konsolidasi oligarki yang terjadi di tengah-tengah pandemi. Sungguh tragis dan sungguh ironis. Sekali lagi tugas Parlemen bukanlah menjadi stempel pemerintah, tugas Parlemen adalah mengawasi dan mengontrol pemerintah,” tutup Fadli Zon.

Editor: Renilda Pratiwi Yolandini

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru