Jakarta, Oerban.com – Penyidik Polda Metro Jaya resmi menetapkan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, pada Jum’at 18 Maret 2022.
Haris dan Fatia ditetapkan sebagai tersangka melalui Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka untuk masing-masing Nomor: B/4135/III/RES.2.5/2022/Ditreskrimsus dan Nomor: B/4136/III/RES.2.5/2022/ Ditreskrimsus tertanggal 17 Maret 2022.
“Pemberitahuan tersebut disampaikan pada keduanya di hari Jumat malam sekitar pukul 21.00 WIB berikut dengan panggilan untuk dimintai keterangan sebagai tersangka pada Senin, 21 Maret 2022,” tulis KontraS dalam keterangan resminya, Sabtu (19/3/2022).
Penetapan tersangka tersebut merupakan tindak lanjut dari proses laporan polisi tertanggal 22 September 2021 oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan berkaitan dengan video yang terdapat dalam akun YouTube Haris Azhar yang berjudul “Ada Lord Luhut di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada!!” berdasar pada hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil yang berjudul “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya.”
Menurut KontraS, video tersebut mengungkap fakta penting: Bahwa pejabat publik mencampurkan antara bisnis dan jabatannya. Salah satu hal yang paling dilarang dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Namun mengungkap fakta tersebut di Indonesia kini resikonya adalah pemenjaraan meskipun Haris-Fatia memiliki bukti yang solid dalam pengungkapan tersebut.
“Sejak awal, kami menilai bahwa kasus ini ialah pemidanaan yang dipaksakan mengingat terdapat beberapa kejanggalan dalam proses penyidikan, diantaranya: penerapan pasal dalam penyidikan tidak memenuhi unsur pidana; proses penyidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam perkara ini melanggar SKB Pedoman Implementasi UU ITE; dan proses penyidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam perkara ini bertentangan dengan Surat Edaran Kapolri tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif,” jelas KontraS.
KontraS meminta penetapan tersangka Haris dan Fatia harus diuji secara hukum, supaya penggunaan instrumen hukum dan aparat penegak hukum untuk tujuan membungkam tidak dibiarkan leluasa dan terus diulang-ulang oleh pihak yang merasa berkuasa.
“Sebagaimana dengan janji jabatannya, aparat penegak hukum hanya mengabdi pada konstitusi dan negara, bukan mengabdi pada kekuasaan. Oleh karenanya berhentilah menjadi alat kekuasaan dan kembali melayani konstitusi dan kepentingan publik, bukan kepentingan individu. Selain itu, pemidanaan untuk tujuan pembungkaman ini juga menunjukkan garis batas tentang kebenaran dan pihak yang khawatir terbongkarnya skandal yang menempuh cara tidak demokratis,” tegas Lembaga yang bergerak di bidang advokasi Hak Asasi Manusia itu.
Lebih lanjut, KontraS mengatakan, di tengah praktik kriminalisasi ini, kebebasan sipil di Indonesia, terutama di Papua ada dalam kondisi krisis ketika penangkapan sewenang-wenang, pembatasan akses, pembunuhan terhadap warga sipil, serta pengungsian akibat dari dampak eksploitasi sumber daya alam dan konflik bersenjata di Papua turut terjadi. Bahwa berangkat dari situasi tersebut, penetapan tersangka bukan menjadi peristiwa tunggal semata melainkan bereskalasi terhadap kondisi di Papua yang akan menghadapi ancaman dan tantangan lebih serius
“Melalui rilis ini, baik Fatia maupun Haris akan menghadapi risiko tersebut dengan kepala tegak karena keyakinan akan kebenaran dan tujuan baik dari semua yang dilakukan demi melayani kepentingan publik terkait masalah hak asasi manusia dan eksploitasi sumber daya alam di Papua,” tutup KontraS.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini