Penulis: Ghina Syauqila
Media digital adalah media yang mewadahi keterampilan dan kemampuan yang melibatkan visual, verbal, dan digital secara sekaligus dalam waktu yang bersamaan, di mana kapasitas gambar dan suara dapat memengaruhi dan menularkan impresi, hingga dapat dipublikasikan dan diserap oleh khayalak ramai, yang dihubungkan melalui perangkat-perangkat digital.
Zaman demi zaman berlalu, teknologi senantiasa tumbuh dan berkembang dewasa mengikuti alur waktu, hingga kini semua orang dari beragam dapat menikmati koneksi internet, bergumul dalam media sosial, berselancar dalam web atau penjelajahan dunia maya, dan sebagainya, hingga internet dan perangkatnya, yakni gadget, merupakan hal yang dianggap sangat penting dan berharga dewasa ini.
Namun, menurut Jenkins (2009), ada tiga kelemahan dari perkembangan pesat media digital ini:
Kesenjangan partisipasi (gap participants) – di mana tidak semua orang mampu berpartisipasi secara merata di dalam dunia maya karena keterbatasan fasilitas media digital, baik dari koneksi internet sendiri maupun kemampuan perangkat yang mereka miliki dalam mengakses internet.
Masalah transparansi (transparancy problems) – orang-orang, terutama remaja, diperkirakan merefleksikan, mengomunikasikan, dan mampu menyebarluaskan pengalaman mereka sepanjang berselancar dalam dunia maya dan menyelam dalam media digital.
Tantangan etika (ethics challenges) – orang-orang, terutama anak-anak dan remaja, dikatakan dapat menyerap nilai-nilai moral dan etika yang mereka peroleh dari internet tanpa filtrasi, sehingga tanpa adanya pemilahan informasi ini, anak-anak dan remaja bisa terseret dan terjebak dalam persepsi, evaluasi, dan nilai-nilai yang salah.
Jika kita melihat fenomena kini, banyak sekali generasi muda yang mengalami dekadensi moral akibat keliru dalam pemanfaatan internet yang leluasa mereka akses setiap waktu. Mereka meniru hal-hal kurang baik dan negatif yang meradang di internet dan dengan mudah mereka dapatkan tanpa secara matang memikirkan konsekuensi yang mungkin akan terjadi. Namun, di sisi lain, sebenarnya ada pula segelintir anak atau remaja yang sudah cukup bijak menggunakan internet, di mana internet menjadi media pengembangan dan belajar untuk diri mereka. Mereka mampu mengambil sisi positifnya dan tidak mengikuti hal-hal negatif yang didapat. Tentu saja, dalam hal ini, peran orang tua amatlah penting, genting, urgen, dan krusial.
Bagi seorang anak, didikan, bimbingan, dan binaan dari orang tua sepanjang hidup mereka sangatlah berarti, terlebih ketika mereka masih berada dalam masa kanak-kanak, orang tua adalah orang yang paling mereka percaya sekaligus role model mereka. Apa yang diajarkan orang tua pada anaknya, atau yang dilakukan orang tua pada mereka, terinternalisasi begitu kental pada diri sang anak dan secara sadar tak sadar berpengaruh pada kehidupan, sikap, persepsi, afeksi, dan perilakunya.
Di luar sana, bukan sedikit orang tua yang mengasuh anaknya dengan otoritas, ancaman, dan tuntutan, sehingga anak seringkali memiliki luka batin tersendiri terhadap orang tuanya. Dalam kondisi seperti ini, anak memiliki kemungkinan untuk tumbuh menjadi tipe pemalu dan rendah diri atau keras dan pembangkang. Untuk tipe anak yang keras dan pembangkang, anak akan cenderung memilih pilihan yang sama sekali tidak diinginkan orang tuanya.
Ada pula orang tua yang mendidik anaknya dengan hanya menyuruh dan atau melarangnya melakukan ini dan itu tanpa menyertakan alasan yang jelas mengapa anak harus atau tidak boleh melakukan hal tersebut. Ketidakterbukaan dan ketidakjujuran orang tua kepada anak yang seperti ini akan menjadikan kepercayaan anak memudar dan justru memilih hal yang bertolakbelakang dari apa yang harus dan atau tidak boleh ia lakukan menurut orang tuanya untuk mencari tahu ‘ada apa’ sebenarnya di balik semua itu dan ‘mengapa’ ia harus atau tidak boleh melakukan ini dan itu.
Contoh lainnya, jika orang tua jauh dari anak dan jarang memperhatikan anak, anak tidak memiliki rasa kepercayaan yang intens terhadap orang tua, sehingga ia cenderung mengedepankan egonya sendiri. Akibatnya, terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan—salah satunya peluruhan nilai-nilai positif karena penyerapan nilai-nilai negatif dari media digital.
Dari hal ini, telah jelas dan tentu saja peran orang tua sangat penting. Sebagai fasilitator, orang tua menyediakan perangkat pembelajaran terbaik serta menyuguhkan didikan dan bimbingan yang tepat untuk anak. Sedangkan posisi orang tua sebagai mediator adalah untuk mengawasi, mengiringi, dan menjadi penengah yang bijak dalam kebutuhan anak dengan media digital. Contohnya, seperti membatasi waktu penggunaan internet, menyajikan situasi nyata yang kondusif sehingga anak terdistraksi dan lebih banyak mengeksplorasi lingkungan sesungguhnya dibanding berselancar di dunia maya, kreatif dan inovatif dalam memberikan arahan dan pengajaran pada anak, serta keeratan dan keharmonisan hubungan orang tua dan anak juga sangat penting—hingga anak akan tumbuh menjadi seseorang yang percaya diri, cerdas, menghargai lingkungannya, terampil, dan berjiwa sosial.
Orang tua juga harus tegas dan berani memberlakukan aturan, pengadaan reinforcement, dan mengurangi rasa tidak tega pada anak sekalipun anak merengek—karena dampak dari apa yang dilakukan orang tua hari ini, akan terus-menerus memengaruhi diri anak di masa depan. Oleh karena itu, orang tua pun harus paham dan lihai menilai mana yang harus ia lakukan dalam mendidik, memberikan edukasi, dan mengasuh sang anak dan mana yang tidak.