Oleh : Hendri. Y
Widyaiswara sebagai sebuah profesi memerlukan perhatian yang serius agar tetap mampu bertahan ditengah arus informasi teknologi. Perhatian yang dimaksud antara lain peningkatan kapasitas dan kapabilitas, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan kompetensi serta peningkatan kesejahteraan. Peningkatan ini tidak mesti menunggu fasilitasi instansi, karena jika ingin menjadi seorang professional, semestinya widyaiswara harus mencari alternative lain guna menjadi professional. Karena jika mengharapkan fasilitasi dari instansi sudah barang tentu banyak keterbatasan, bisa keterbatasan anggaran, bisa juga keterbatasan kesempatan.
Disisi lain, tuntutan menjadi seorang widyaiswara yang professional tidak bisa dihindarkan, karena hampir semua profesi sudah menerapkan aturan menjadi professional. Tutuntan menjadi seorang yang professional inipun tidak hanya berlaku didalam negeri saja, tapi juga berlaku diluar negeri. Semuanya sudah sejalan dengan Agreement of Understanding Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bahkan belakangan ini Kementerian Pertanian sedang gencar-gencarnya melakukan sertifikasi profesi, apatah lagi profesi widyaiswara khususnya dilingkup Kementerian Pertanian yang menjadi katalisator dalam dunia pelatihan.
Menjadi seorang yang professional tidak bisa terjadi hanya dalam satu malam, karena ini bukanlah kisah Dayang Sumbi dengan Sangkuriang. Ini adalah kisah seorang pendidik, pelatih, pembimbing dan fasilitator. Diperlukan waktu yang panjang agar bisa menjadi professional. Namun dengan adanya teknologi hari ini, semuanya bisa akselerasi. Hal ini dikenal dengan speed learning. Dengan kemudahan mengakses teknologi dan informasi tentunya seorang widyaiswara mampu mengadopsi perubahan-perubahan yang terjadi dan bisa beradaptasi dengan perubahan tersebut. Hanya saja, kadang-kadang faktor umur menjadi penghalang untuk mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang ada.
Disinilah muncul perbedaan antara generasi milenial dengan generasi baby boomers. Rata-rata generasi milenial (kelahiran diatas ’80) lebih sigap mengadopsi kemajuan informasi teknologi. Sementara generasi yang lahir tahun dibawah 80an atau dikenal sebagai generasi baby boomers agak kesulitan beradaptasi dengan kemajuan informasi teknologi.
Lembaga riset Pew Research Centre menyebut karakteristik generasi milenial dengan sifat-sifat yang lebih positif. Generasi ini dianggap percaya diri, ekspresif, liberal, bersemangat, dan terbuka pada tantangan. Menurut Bobby Duffy, Managing Director Ipsos MORI Social Research Institute menyatakan persepsi yang kontras antara baby boomer dan millenial hanyalah persoalan usia. “Generasi muda selalu menjadi target ejekan dari generasi yang lebih tua,” kata Duffy dalam laporannya.
Generasi milenial banyak berkomunikasi dengan teknologi yang instant seperti email, whatsapp, dan aplikasi instan lainnya. Hal tersebut dikarenakan generasi ini tumbuh disaat perkembangan teknologi internet. Menurut Liyon 2004, generasi ini terbuka dalam berbagai hal, baik ekonomi, politik, sosial media dan informasi terkini. Sehingga lebih siap menghadapi perubahan dan perkembangan yang bahkan terjadi setiap detik. Sedangkan generasi yang lahir dibawah 80an, sedikit yang mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi ini, sehingga terlihat gagap ketika ada perubahan-perubahan.
Oleh sebab itu sudah saatnya berkolaborasi. Dimana widyaiswara yang lebih senior dan lebih matang secara sosial dan emosional memberikan arahan kepada widyaiswara yang masih muda agar mampu menjadi seorang yang matang juga secara sosial dan emosional. Sementara widyaiswara muda memberikan tips dan trik kepada widyaiswara senior agar cepat dalam melakukan adaptasi dan akselerasi informasi teknologi.