Jakarta, Oerban.com – Tragedi pembunuhan di Lebak Bulus yang diduga melibatkan anak terhadap orang tuanya memunculkan berbagai spekulasi di masyarakat. Peneliti Bidang Sosial dari The Indonesian Indonesia (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menekankan pentingnya kehati-hatian aparat penegak hukum (APH) dalam menetapkan anak sebagai pelaku dalam kasus ini. Selain itu, APH perlu melibatkan psikolog klinis dan psikolog forensik dalam melakukan pendalaman untuk memperoleh informasi tentang anak secara utuh.
“Dalam kasus seperti ini, ada banyak dimensi yang perlu dipertimbangkan, termasuk kondisi psikologis, relasi keluarga, hingga kemungkinan adanya tekanan eksternal. Menyimpulkan bahwa anak adalah pelaku tanpa proses investigasi yang mendalam bisa melukai prinsip keadilan,” ujar Dewi.
Menurut Dewi, dalam penetapan anak sebagai pelaku dari tindak kejahatan yang serius seperti pembunuhan, penting bagi aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa pendekatan yang digunakan tidak hanya berbasis hukum, tetapi juga hendaknya memperhatikan aspek psikososial.
“Anak-anak memiliki kerentanan yang berbeda dibandingkan orang dewasa, di mana banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku sadistik. Oleh sebab itu, untuk menanganinya diperlukan langkah investigasi dan penanganan yang lebih komprehensif, serta sesuai dengan prinsip perlindungan anak,” ungkap Dewi.
Selain itu, Dewi juga menyoroti perlunya penyediaan bantuan hukum dan pendampingan psikologis bagi anak sebagai pelaku dalam kasus seperti ini.
“Anak sebagai pelaku perlu diberikan pendampingan hukum dan psikologis guna membantunya dalam melewati proses hukum dan proses rehabilitasi harus menjadi prioritas, bukan sekadar penghukuman,” tambah Dewi.
Kasus pembunuhan anak pada orang tua menjadi pengingat bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap kesehatan mental dalam lingkungan keluarga. Pentingnya isu ini untuk terus digalakkan karena dalam jangka panjang hal ini akan berdampak terhadap kualitas dan kesehatan SDM dan pembangunan bangsa.
Dewi juga merekomendasikan agar penguatan layanan konseling keluarga serta peningkatan kesadaran masyarakat terhadap tanda-tanda awal konflik serius dalam keluarga untuk terus ditingkatkan sebagai bagian pencegahan akan berbagai kejadian serupa di masa mendatang. Hal tersebut diharapkan dapat menekan tingginya angka tindak kejahatan yang berasal dari keluarga.
Terakhir, Dewi juga mengajak publik untuk menahan diri dari penghakiman dini dan memberi ruang bagi aparat hukum untuk bekerja secara profesional dan akuntabel.
“Keadilan yang sebenar-benarnya hanya bisa dicapai melalui proses yang transparan, hati-hati, dan menghormati hak asasi manusia, termasuk hak anak,” tutup Dewi.
Editor: Ainun Afifah