Jakarta, Oerban.com – Saat ini, masyarakat tengah digemparkan dengan tindak pidana pelecehan seksual yang terjadi di NTB dengan pelaku seorang penyandang disabilitas tuna daksa.
Awalnya keraguan muncul di tengah masyarakat karena kemampuan penyandang disabilitas untuk melakukan pelecehan seksual dianggap tidak memungkinkan. Namun, dalam berjalannya proses pemeriksaan kepolisian, terdapat modus penghasutan yang dilakukan oleh pelaku.
Terkait hal ini, Christina Clarissa Intania, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), memberikan pandangannya mengenai kemungkinan dilakukannya pelecehan seksual oleh penyandang disabilitas.
Menurut Christina, skeptisisme masyarakat terhadap kejadian ini mencerminkan dua hal. Pertama, anggapan ketidakmampuan penyandang disabilitas untuk melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh non-penyandang disabilitas, termasuk tindak pidana.
”Padahal, saat ini penyandang disabilitas juga sudah bisa mendapatkan sumber daya pendukung kehidupannya dan tidak mustahil juga untuk bahkan melakukan tindak pidana,” jelas Christina (9/12/2024).
Kedua, anggapan pelecehan seksual yang masih sempit berputar sekitar pemerkosaan dengan kekerasan dan penetrasi atau sejenisnya.
“Terkait dengan persepsi pelecehan seksual itu sendiri sudah ada UU TPKS yang menjabarkan lebih banyak jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual,” katanya.
Kejadian ini, lanjutnya, menjadi satu tantangan untuk semua orang, baik penegak hukum maupun publik, untuk menguji pemahamannya akan persepsi inklusi dan luasnya pelecehan seksual di saat yang bersamaan.
Menurut Christina, Polda NTB sudah mengambil langkah tepat untuk mengakui keterbatasannya dalam sumber daya yang ramah disabiltias dan mengikutsertakan Komisi Disabilitas Daerah untuk mendapatkan masukan dan pendampingan. Di saat bersamaan, Polda NTB sejauh ini juga berhasil untuk mengedepankan hak korban pelecehan seksual.
”Tugas ke depan adalah bagaimana hukum tetap berjalan sebagaimana mestinya, yaitu untuk mewujudkan keadilan tanpa pandang bulu. Selain itu, pemenuhan hak korban dan pelaku juga wajib menjadi perhatian sepanjang proses pemidanaan perlangsung. Polda NTB dan jajarannya perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah terkait, seperti yang sudah dilakukan, juga masyarakat sipil untuk mewujudkan hal ini,” tegas Christina.
”Harapannya, kasus ini menjadi pembelajaran yang bisa mengubah persepsi masyarakat luas untuk ke depannya terkait cara pandang baik soal penyandang disabilitas dan pelecehan seksual,” tutup Christina.
Editor: Ainun Afifah