Jambi, Oerban.com – Politik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata politikos yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara, Jadi politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan khususnya dalam negera. Aristoteles dalam konsep politik klasik mengemukakan bahwa politik digunakan masyarakat untuk mencapai suatu kebaikan bersama yang dianggap memiliki nilai moral yang lebih tinggi dari kepentingan swasta.
Mengingat dekat dan pentingnya politik dalam kehidupan bernegara, sehingga politik diatur secara langsung didalam konstitusi negara yang sekaligus sebagai hukum dasar di negara Indonesia. Yakni UUD 1945 tepatnya dalam pasal 1 ayat (2), pasal 2 ayat (1), pasal 6A ayat (1), pasal 19 ayat (1), pasal 22C ayat (1), pasal 27 ayat (1) dan (2), pasal 28, pasal 28D ayat (3) dan pasal 28E ayat (3). Sehingga dari kerangka itulah dapat kita ketahui bahwa politik merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia dan tidak terkecuali mahasiswa. Kampus yang diisi oleh mahasiwa dari berbagai fakultas dan jurusan tentu menggunakan politik dalam beberapa sendi kehidupan kampus, salah satunya yang terlihat nyata adalah dalam hal memilih presiden dan wakil presiden mahasiswa untuk tingkat universitas atau bahkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur mahasiwa untuk tingkat fakultas.
Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini kami mengkaji bagaimana kondisi perpolitikan di Universitas Jambi (UNJA) dalam pemilihan presiden dan wakil presiden mahasiswa dan gubernur dan wakil gubernur mahasiswa tahun 2020 (PEMIRA 2020). Proses politik pada pemira 2020 di (UNJA) dapat terlihat mulai dari pencalonan partai politik mahasiswa untuk dapat mengikuti pemira 2020. Sebuah partai politik diharuskan untuk membuat kepengurusan disetiap fakultas dan juga mengumpulkan sebanyak 30 KTM sebagai mana aturan yang ditetapkan oleh penyelenggara, tentu hal itu bukan merupakan suatu yang instan sudah dapat dipastikan setiap partai memakai berbagai strategi-strategi politik untuk memenuhi persyaratan dari penyelenggara, cara yang paling sering dilakukan adalah dengan menyasar mahasiswa yang memiliki identitas yang sama dengan partai dan pengurus partai tersebut. Selain itu cara klasik yang serig muncul untuk mendapatkan kader adalah dengan melakukan lobi politik yang dibumbui dengan janji janji manis terhadap sasaran yang mereka incar.
Tentu cara-cara politik yang sedemikian yang ditempuh oleh partai politik mahasiswa bukanlah suatu cara yang salah untuk dilalui, akan tetapi dalam suatu kontestasi politik cara yang kurang sehat mulai dilakukan pada saat pencalonan kandidat, dalam hal ini pencalonan presma dan wapresma atau gubernur mahasiswa dan wakil gubernur mahasiwa. Kebanyakan dari partai politik mahasiswa sudah mencalonkan kader tarbaiknya untuk maju pada kontestasi pemira tersebut, atau bisa memakai opsi kedua yakni mencalonkan mahasiwa yang bukan anggota partai tetapi memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi di tengah kalangan mahasiswa.
Tentu kedua cara tersebut bukanlah merupakan suatu kecacatan dalam berpolitik dan demokrasi, akan tetapi sudah menjadi rahasia umum tidak jarang dalam kontestasi politik seperti saat ini terjadi politik transaksional antara kandidat non paratai dengan partai politik mahasiswa. Biasanya hal ini terjadi pada orang yang memiliki keinginan maju sebagai kandidat calon tetapi tidak memiliki partai pengusung yang dengan suka rela mengusung mereka, politik transaksional yang sering terjadi adalah pemberian mahar politik oleh kandidat kepada partai politik mahasiswa yang diincar. Cara tersebut jelas cara yang sangat salah dan dapat merusak proses politik dan demokrasi karena partai politik bukan mencalonkan mahasiswa terbaik untuk menjadi pemimpin di KBM UNJA melainkan mencalonkan yang hanya bermodal materi semata.
Setelah pencalonan dilaksanakan tentu akan ada masa kampanye calon, masa kampanye calon diberikan oleh penyelenggara sudah pasti untuk mensosialisasikan pasangan calon, visi misi pasangan calon, gagasan-gagasan pasangan calon serta program-program pasangan calon dengan berbagai media atau alat peraga kampanye baik konvensional seperti poster, baliho dan sepanduk maupun melalui media elektronik seperti sosial media. Cara-cara kampanye tersebut tentunya merupakan cara yang memang seharusnya dilakukan.
Akan tetapi bukan berarti tidak terdapat konten licik yang tersedia didalam cara tersebut dalam media konvensional misalnya terdapat alat peraga kampanye salah satu pasangan calon yang rusak, rusaknya alat peraga kampanye tersebut dapat disebabkan oleh tiga faktor. Yang pertama rusak secara alami yang disebabkan oleh alam itu sendiri seperti angin dan badai, yang kedua dirusak oleh kubu lawan. Biasanya cara ini dilakukan untuk menahan arus sosialisasi salah satu pasangan calon supaya tidak meluas, dan yang ketiga yakni dirusak sendiri oleh calon yang bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk dimaksudkan supaya memunculkan isu-isu miring terhadap pasangan calon yang lain. Tidak hanya dalam cara konvensional dalam media elektonik juga sangat sarat akan terjadinya suatu cara yang tidak baik dalam berpolitik seperti adanya kampanye hitam yang ditujukan kepada salah satu pasangan calon, dan dalam media elektronik ini pula sering beredar hoax yang berkaitan dengan salah satu pasangan calon.
Kampanye dilaksanakan dimaksudkan utuk menarik perhatian pemilih dengan visi misi dan program yang akan ditawarkan bukan untuk menjatuhkan pasangan calon lain bahkan, selain dengan kampanye ada satu cara instan dan tidak baik untuk menarik pemilih, adalah dengan politik uang namun hal ini sangat kecil kemungkinan terjadi pada politik kampus seperti PEMIRA UNJA 2020. Sesuai dengan konsep politik klasik oleh Aristoteles bahwa politik digunakan masyarakat untuk mencapai suatu kebaikan bersama yang dianggap memiliki nilai moral yang lebih tinggi dari kepentingan swasta. Tentunya politik harus dimaknai sebagai suatu cara dan proses untuk mencapai tujuan bersama dengan cara yang baik agar tercipta pemimpin yang baik melalui proses politik dan yang terpenting adalah bagaimana stabilitas politik tetap terjaga dan kepercayaan publik atau mahasiswa khususnya tetap tinggi.
Penulis: Muhammad Padol (Fakultas Hukum Universitas Jambi)
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini