Kota Jambi, Oerban.com – Pada dasarnya, pemuda adalah tonggak utama perjuangan sebuah bangsa. Ia hadir untuk memecahkan persoalan-persoalan rumit yang sedang terjadi, dengan cara berpikir yang lebih inovatif, pemuda berada jauh di depan, meninggalkan kaum tua yang cenderung konservatif dan lebih nyaman dengan status quo. Dan di tengah carut marutnya negeri saat ini, maka pemuda harus bisa hadir untuk memberikan ide dan gagasan terbaiknya.
Jika kita menoleh kebelakang untuk sejenak, niscaya kita akan menemukan sebuah fakta sejarah, bahwasanya gerakan perubahan lebih dominan diinisiasi oleh para pemuda. Dalam catatan sejarah Islam contohnya, para kader-kader mukmin yang digembleng oleh Rasulullah Saw di darul Arqam adalah pemuda. Yang paling tua adalah Abu Bakar R.a, usianya 3 tahun lebih muda dari Rasulullah Saw. Dari tempat itulah dakwah Rasul berkembang, hingga kita bisa menikmati manisnya Islam saat ini.
Pemuda memang selalu dibebani tanggung jawab moral untuk sebuah perbaikan, tidak berhenti begitu saja di zaman rasul, dan tidak hanya pemuda mukmin saja, namun seluruh pemuda punya tanggung jawab moralnya masing-masing. Dari gerakan kiri, kita mengenal nama pemimpin besar Rusia seperti Lenin. Pemuda Lenin dengan gagah berani memperjuangkan hak-hak buruh dan petani, yang memang pada saat itu sedang dalam posisi tertindas di bawah kuasa Tirani Tsar Nicholas I.
Di Indonesia sendiri, kita tahu banyak tentang Soekarno dan nasionalismenya, Natsir dan islamismenya, serta Tan Malaka dengan jiwa revolusioner kiri yang dimilikinya. Ketiga pemuda tersebut punya perannya masing-masing untuk Indonesia merdeka. Mungkin hanya caranya saja yang agak sedikit berbeda.
Lalu di zaman sekarang, pemuda hadir ke tengah-tengah masyarakat lewat berbagai gerakan, demonstrasi atau aksi massa menjadi hal yang paling disorot oleh khalayak ramai. Gerakan demonstrasi mulai bangkit sejak september 2019, setelah sebelumnya gerakan itu dinilai “impoten” Oleh sebagian orang. Presma UGM kala itu, Fathur, mengatakan bahwa meningkatnya kuantitas dan kualitas tuntutan Mahasiswa, itu sejalan dengan menurunnya pengelolaan pemerintah.
Aksi massa yang meledak pada september 2019, adalah respon dari kontroversinya Revisi Undang-Undang KPK dan KUHP. Karena hal itu, mahasiswa di seluruh Indonesia turun ke jalan untuk menuntut pembatalan revisi undang-undang tersebut. Di beberapa lokasi aksi, kerusuhan tak dapat dihindari, bahkan memakan korban jiwa. Dua orang mahasiswa tewas tertembak peluru tajam, ia adalah Immawan Randi dan Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari.
Tewasnya randi memberi luka yang mendalam bagi para mahasiswa, luka itu semakin diperparah dengan gagalnya tuntutan massa aksi. Revisi Undang-undang KPK tetap disahkan.
Setahun berjalan, pemerintah mulai berulah lagi. Rancangan undang-undang cipta kerja yang sebelumnya menjadi polemik, disahkan secara senyap menjadi undang-undang pada 5 Oktober yang lalu. Merespon hal tersebut, aksi massa terjadi kembali pada 8 Oktober, kali ini tidak hanya mahasiswa, tapi juga dari buruh dan aktivis lingkungan hidup.
Aksi-aksi yang terjadi sejak 8 Oktober, lebih dominan diwarnai oleh kerusuhan, bahkan hampir di semua wilayah. Akibatnya, substansi tuntutan mahasiswa menjadi bias. Orang kini tidak lagi bicara tentang substansi tuntutan, tapi lebih kepada siapa yang menjadi dalang kerusuhan demo? Atau, berapa biaya kerugian yang disebabkan?
Pemerintah sedang memainkan propagandanya, masyarakat yang buta terhadap politik, akan menganggap bahwa tak ada yang bisa dilakukan oleh mahasiswa selain menimbulkan kerugian. Jika sudah begini, apa lagi yang harus kita (mahasiswa) lakukan? Selain dari tuntutan yang kemungkinan besar gagal, eksistensi pun jauh merosot. Jika sudah semakin berkurang orang yang peduli terhadap kontrol pemerintahan, maka peluang kediktatoran terbuka lebih lebar.
Peluang kediktatoran? Mengapa tidak. Secara sederhana, diktator adalah penguasa yang mendapat kekuasaan mutlak tanpa memperhatikan keinginan-keinginan rakyatnya. Di pemerintahan kedua presiden jokowi, tuntutan-tuntutan rakyat banyak diabaikan, penolakan revisi undang-undang KPK contohnya, dan yang terbaru adalah pengesahan undang-undang cipta kerja.
Menyinggung perihal kediktatoran, biasanya hal itu terjadi karena dua hal, yang pertama adalah komando militer yang telah di kuasai, dan yang kedua adalah ketidakpedulian rakyat terhadap politik. Dari Represifitas yang terjadi belakangan ini, ditambah dengan pembungkaman beberapa aktivis, maka dapat disimpulkan bahwa komando militer atau aparat telah dikuasai sepenuhnya. Lalu yang kedua, ketidakpedulian rakyat terhadap politik, hal ini tentu saja masih jauh, sebab masih banyak orang-orang yang tetap mengawasi jalannya pemerintahan, namun kewaspadaan tetap harus ditingkatkan, karena komando aparat telah digenggam sepenuhnya.
Kita bercermin pada era orde baru, komando militer yang digenggam erat oleh soeharto, mampu melanggengkan kekuasaannya selama lebih dari 31 tahun. Walaupun kita tahu, bahwa masih banyak orang-orang yang juga memang peduli terhadap politik, sebut saja salah satunya adalah A.M Fatwa. Namun hal itu ternyata tak berarti banyak, di dalam bukunya yang berjudul “dari mimbar ke penjara”, A.M Fatwa bercerita tentang banyaknya intimidasi dan penyiksaan yang ia alami karena menyinggung soal pemerintahan orde baru.
Kita tak boleh sedikitpun melupakan tragedi-tragedi pelanggaran HAM di masa orde baru, setelah pertumpahan darah menuju reformasi 1998, kebebasan dan demokrasi harus terus dijunjung tinggi. Orang yang memberikan kritik harus mendapatkan perlindungan dari negara, bukannya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Ingat! Salah satu ciri pemimpin diktator adalah mencurigai setiap orang, ia akan merasa khawatir dan selalu terancam, takut jika kursi kekuasaannya tergoyang dan lepas. Hal itu dibuktikan oleh fakta sejarah yang ada, bahwa Rafael Trujillo membunuh ribuan musuh dan lawan politiknya sesaat setelah terpilih menjadi presiden Republik Dominika, contoh paling dekat adalah dalih pembubaran Masyumi oleh soekarno, yang dianggapnya telah menyimpang atau kontra revolusioner.
Sampai saat ini, belum juga muncul tanda-tanda perpu pembatalan undang-undang cipta kerja akan dikeluarkan. Kemungkinan besar substansi gerakan mahasiswa telah gagal, di tambah dengan eksistensi yang semakin memburuk. Di pulau jawa terkhusus Jakarta, saya meyakini jika substansi gerakan itu memang benar adanya, namun di kota-kota kecil seperti Jambi, hal itu juga patut dipertanyakan, hanya sekedar eksistensi kah aksi massa itu? Saat aksi nasional 28 Oktober yang lalu, mengapa Mahasiswa jambi tak ada yang turun ke jalan? terkhusus BEM KBM Unja selaku perpanjangan tangan BEM SI untuk daerah Jambi.
Undang-undang cipta kerja ini, bisa jadi adalah langkah awal pemerintah untuk mengukur sejauh mana massa mampu menggoyang kursinya, jika lemah, maka tidak menutup kemungkinan pemerintah akan mengesahkan undang-undang kontroversi lainnya, termasuk RUU PKS yang saat ini masih menuai pro dan kontra. Untuk itu, perlu bagi kita mengedepankan subtansi dibanding eksistensi, bukan hanya euforia semata, aksi massa bukanlah panggung untuk para ketua BEM.
Penulis: Rama P
Editor: Renilda PY