email : [email protected]

27 C
Jambi City
Kamis, Mei 16, 2024
- Advertisement -

BENARKAH AKSI MAHASISWA KEHILANGAN RUHNYA?

Populer

Kota Jambi, Oerban.com – Ramainya aksi mahasiswa yang melakukan penolakan undang-undang Ciptaker baru-baru ini merupakan sebuah fenomena yang unik. Pasca aksi mahasiswa pada 29 September tahun lalu yang menjadi semacam titik balik semangat demokrasi setelah sempat mencapai klimaks pada tahun 1998. Masa itu, semua mahasiswa dari berbagai organisasi melebur untuk melawan rezim orde baru yang dinilai diktator. 22 tahun pasca reformasi, kondisi negara ini masih belum sesuai dengan yang diimpikan para pemuda saat itu. Padahal, rata-rata pemimpin hari ini juga bukan orang asing di masa 1998.

 

Ada yang menarik dari perkembangan masa aksi dari periode ke periode. Hal ini tentu tidak lepas dari kondisi zaman dan faktor budaya nya. Tahun 1998, aksi massa di dominasi oleh kepentingan penurunan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun, penuntutan hadirnya reformasi, serta kebebasan berpendapat. Berbagai elemen yang turun kala itu menggelar rapat-rapat tertutup, mengkonsolidasikan tujuan yang sama. Gerakan-gerakan mahasiswa dari berbagai elemen bermunculan, hingga berbuah manis; Soeharto mundur dari jabatannya.

 

Beberapa dekade selanjutnya, kebebasan pers mulai digalakkan, sistem multi partai diberlakukan, Indonesia memasuki kondisi sosial politik yang berbeda dengan beberapa pergantian kepemimpinan secara demokrasi. Meskipun begitu, tiap-tiap periode kepemimpinan presiden di Indonesia tidak pernah alpa dari aksi massa. Sebagai sebuah gerakan penyampaian aspirasi, aksi massa kini juga memiliki kekhasan tersendiri. Pergeseran bentuk dan inovasi kian bertambah. Apalagi dengan majunya teknologi yang turut memberikan warna baru.

 

Saat ini, informasi tentang aksi begitu cepat diterima, beredar, dan mendapatkan respons. Maraknya penggunaan sosial media juga menjadi ruang baru untuk menyebarkan informasi maupun menjadi semacam jembatan antara peserta aksi dengan orang-orang yang dituju. Disamping itu, terdapat beberapa kelemahan pula, berbagai aktivis pergerakan mahasiswa menyebutkan, aksi massa mahasiswa saat ini telah kehilangan ruhnya. Apa sebab? Narasi yang dituangkan dalam tulisan di karton atau kardus yang dibawa oleh peserta.

Baca juga  Tolak Kedatangan Presiden Jokowi ke Jambi, Aliansi Mahasiswa dan Paguyuban Provinsi Jambi akan Gelar Demonstrasi

 

Dalam budaya manajemen aksi, penulisan narasi menjadi penting dilakukan, hal ini agar masyarakat yang melintas dapat mengetahui maksud diadakannya aksi tersebut. Namun, faktanya, tidak semua narasi yang ada berkorelasi dengan tujuan. Penulisan-penulisan ini dalam berbagai perspektif mungkin akan mengartikan hal berbeda, tetapi jika perspektif substansi, tentu saja bermakna ganda.

 

Beberapa narasi tersebut seperti :

 

“50% aksi, 50% cari ukhti”

 

“Kami kesini cuma untuk cari crush”

 

“Dibayar per jam, mending Open BO”

 

“Aku kesini mau cari jodoh polisi”

 

Beberapa narasi tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya aksi massa yang telah dilakukan. Jauhnya substansi dari maksud dalam narasi tersebut menjadi sebuah perenungan dalam sebuah aksi. Belum lagi kerja-kerja media yang menyorot hal-hal remeh temeh. Industri media yang memerlukan hal-hal ini menjadikan aksi massa dilihat dari perspektif yang kecil, sehingga bias dari maksud aksi menjadi sangat tampak.

 

Disisi lain, hal ini juga tampak seperti satire yang menggelikan. Representasi kondisi kita, ketika permasalahan masyarakat kian menggunung, namun kita hanya melihat hal-hal diluar substansi. Adegan mematikan mic saat demokrasi telah berkumandang jauh setelah aksi massa tahun 1998 berlangsung. Hari ini kita kembali pertanyakan, benarkah aksi mahasiswa kehilangan ruhnya?

 

Penulis: Novita S

Editor: Renilda PY

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru