email : [email protected]

23.7 C
Jambi City
Tuesday, November 26, 2024
- Advertisement -

PERDAGANGAN LADA DI JAMBI ABAD XVI-XVIII HINGGA KINI

Populer

Jambi, Oerban.com – Tidak banyak yang tahu bahwa Jambi merupakan salah satu provinsi penghasil Lada. Dalam berbagai sumber, lada jambi adalah salah satu jenis atau varian lada di Sumatra pada abad XVI sampai XVIII.

Varian lainya adalah lada manna dan lada kkawur. Lada kkawur itu di kenal sebagai lada Lampung. Jenis lada terkuat atau lada yang memiliki ketahanan terhadap cuaca memiliki buah dan daun yang paling besar, dan tahan lama. Sedangkan lada manna lebih kecil dan unik. Lada manna lebih cepat panen tetapi tidak tahan lama. Lada jambi reputasinya paling jelek. Daun dan buahnya pun berukuran paling kecil, berumur paling pendek dan sulit di pasang tiang penyangga dalam penanamannya.
Di Sumatra sendiri hanya hanya dikenal 2 jenis lada, yakni lada sulur dan lada anggur. Sebutan lada sulur dan lada anggur bukanlah berdasarkan spesiesnya mlainkan dari cara penanamannya. Lada sulur di tanam dari potongan-potongan rambat, sedangkan lada anggur di tanam secara berlapis.

Lada di Jambi dihasilkan oleh daerah hulu. Menurut Barbara Watsonadanya, konotasi hulu tidak hanya mengacu pada hulu sungai, tetapi juga pada masyarakat dan gaya hidup yang berbeda dengan penghuni hilir.  Hulu dicirikan dengan jumlah titik-titik perdangan yang berkembangan di persimpangan sungai-sungai penting,seperti muaro tebo. Pusat-pusat perdagangan ini dihubungkan oleh jalur-jalur darat minangkabau dan pesisir barat. Sementara daerah hilir yang merupakan pusat kesultanan adalah pusat aktivitas perdagangan.

Lokasi perdagangan berada tidak jauh dari kota pilih, pada abad XVI, daerah hulu sungai Batanghari dinyatakan sebagai daerah rantau( daerah migrasi) orang minangkabau. Para perantau minang kabau ini melangsungkan kawin campur dengan penduduk asli. Di daerah tertentu, dominasi kebudayaan merekan terlihat hingga abad XIX.

Sebelum kedatangan bangsa Eropa , jaringan hubungan ekonomi antara para petani lada di huku dan pelabuhan hilir hubungannya tidak kuat. Keadaan geografis membuat pemaksaan control kekuasaan oleh hilir tidak bias berjalan. Penduduk pedalam akan berbondong-bondong datang ke hilir untuk menjual hasil dagangannya jika yakin akan mendapat perlakuan yang adil.pada awal abad XVI, petani lada di hulu Jambi menjual ladanya ke hilir. Dari sana, pedagang besar lada mengangkut lada dari jambi, yakni Palembang, Banten, Gresik, dan juga petani di semenanjung Malaya.
Selama 60 tahun lebih, sebagian besar lada prodoksi Jambi tidak di jual ke hilir Jambi melainkan dijual ke pelabuhan yang populer di mata pedagang cina. Dampaknya adalah aktivitas perdagangan lada di Jambi masih kurang ramai dibandingkan Palembang.

Baca juga  Youth Move Up Syiarkan Quran di Bulan Ramadan dengan Program Teman Ngaji

Perdagangan lada di Jambi umumnya terjadi karena petani lada yang berlayar ke hilir menjual lada mereka. Namun pedagang Inggris, Belanda ataupun pihak kesultanan jambi yang tidak mau menunggu begitu saja kedatangan petani lada telah membentuk pola perdagangan lain. Orang Cina yang jadi agen ke hulu membawa bekal tekstil, seperti kain untuk di jual di hulu. Kadang lada di barter dengan kain tersebut. Tidak jarang juga, agen itu meminjamkan uang kepada petani lada. Kira-kira 60 perahu di kirimkan ke hulu untuk mengumpulkan lada dalam setiap tahunnya. Mereka datang sekitar bulan maret dan awal april, mereka juga datang setelah menghadiri panen raya yang dilaksanakan bulan Oktober.
Para petani lada dari hulu muncul di pelabuhan Jambi antara November dan desember. Mereka membawa rakit setiap rakit berisi 150 pikul. Setiap tahunnya di perkirakan 40.000 sampai 50.000 karung lada dari hulu Jambi da nada juga melalui sungai Indragiri. Pengiriman lada sring terganggu karena kesulitan akses geografis antara hulu dan hilir. Penundaan sering berbulan-bulan karena rakit hanya bisa melewati sungai tinggi. Bangsa Eropa tidak sabar dengan kondisi ini karena perdagangan yang minim.

Upaya portugis mengendalikan jalur perdagangan lada di jambi jauh dari belanda berakhir dengan kegagalan. Pada tahun 1615, jan Pieter zoon coen, direktur kantor dagang belanda (VOC) di banten memerintahkan ekspansi perdagangan ke jambi dengan mengirim satu kapal. Andries soury ditugaskan untuk membuka jalur perdagangan lada di jambi. Mereka diterima dengan baik di istana jambi dan belanda membangun kantor dagang di Jambi.

Tahun 1615,pedagang belanda (VOC) baru menemukan jalan ke pelabuhan jambi bernama tanah pilih melalui sungai niur. Kondisi sungai penuh rawa dan belukar menyulitkan pedagang belanda masuk. Tidak hanya belanda, pedagang inggris melalui EIC juga kesulitan menembus pelabuhan jambi. Perjalan menemukan jambi bukan hal mudah bagi pedagang Eropa.

Baca juga  DPRD Kota Jambi Sahkan Tiga Ranperda Menjadi Perda, Ini Tanggapan Wawako

Kekalahan Portugis tahun 1630, menjadikan belanda dan inggris mendominasi perdagangan lada di jambi. Kapal-kapal VOC berupaya mencegat jung-jung cina yang akan berlayar ke jambi. Tindakan ini untuk memonopoli lada dan bias membeli dengan harga murah. Jambi pelabuhan penting dalam perdagangan lada.

Di Jambi, Belanda bersaing ketat dengan pedagang cina walaupun sesekali tidak bisa mengelak untuk tetap bekerjasama. Pedagang Cina pandai menarik simpati kesultanan jambi untuk lepas dari cukai ekspor lada karena mereka berencana akan datang dalam enam atau tujuh jung cina untuk membeli lada, Cina menawarkan cara membuat senjata api untuk pihak kerajaan dalam bisnis lada ini. Belanda pun bahkan memanfaatkan kelihaian pedagang cina untuk memengaruhi kesultanan dengan menggunakan pedagang perantara bernama Ketjil japon, orang Cina mualaf.
Dalam perdagangan lada di jambi, belanda juga bekerjasama dengan inggris seperti halnya kesepakatan yang dibuat pada tahun 1620. Mereka bersepakat menentukan harga lada tidak boleh lebih dari 4 real per karung. Belanda dan inggris tidak selamanya bisa bekerjasama dan malah terlibat persaingan memonopoli lada. Pihak kesultanan jambi tidak nyaman dengan cara monopoli belanda dan inggris karena menyebabkan pedagang lain enggan datang ke Jambi.

Kejayaan perdagangan lada di Jambi tidak lama. Akhir abad ke-17, keseganan untuk menanam lada sangat jelas muncul dalam tulisan-tulisan melayu. Hal ini menimbulkan kekhawatiran elite istana yang terancam oleh tidak stabilnya penanaman lada. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan perdagangan lada di Jambi mengalami kemunduran. Yakni, turunnya harga lada di pasaran eropa menyebabkan penurunan penanaman lada. Petani di daerah hulu enggan menanam lada. Selain itu, daerah hulu yang jauh dari pusat kekuasaan kesultanan enggan adanya monopoli perdagangan lada yang menyebabkan harga lada di beli dengan murah. Petani di hulu jambi mengalihkan tanamannya dari lada ke tanaman lainnya, seperti kapas dan padi. Selain itu mereka memiliki mata pencarian lain berupa mencari emas dengan adanya pertambangan emas rakyat.

Baca juga  Tarik Minat Investor, Anwar Sadat Pamer Sejumlah Potensi di Bumi Tanjabbar

Tahun 1680 jambi kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada utama di pesisir timur Sumatra setelah bentrok dengan johor. Hal ini diperparah pergolakan internal. Dalam bidang perdagangan, terjadi ketegangan antara hulu dan hilir yang fungsinya antara produsen dan perantara. Inggris meninggalkan pos dagangannya di Jambi tahun 1679. VOC bertahan agak lama meskipun kondisinya mendatangkan untung yang kecil setelah tahun 1680. Sultan di tangkap dan dibuang ke Batavia. Aksi ini menjadikan Jambi terbelah antara hulu dan hilir.

Perekonomian jambi semakin memburuk tahun 1720. Di dataran tinggi, masyarakat lebih memilih menanam kapas dan padi. Petani meninggalkan penanaman lada karena harga yang terus anjlok. Istana atau pihak kesultanan jambi sangat merasakan dampak penurunan perdagangan lada di Jambi. Selama ini sultan dan bangsawan Jambi terlibat dalam bisnis lada. Dalam permodalan, mereka banyak meminjam modal dari belanda. Tahun 1700, pundi-pundi keuangan sultan kosong dan pasukan istana dijadikan agunan. Pada akhir abad XVIII, kesultanan jambi menjadi Negara vassal di bawah raja minangkabau di Pagaruyung. Tahun 1768, orang jambi menyerang pos dagang VOC. Akhirnya VOC menutup pos dagangnya di Jambi.

Perdagangan lada sendiri diyakini tidak membawa kemakmuran panjang bagi masyarakat. Malahan menimbulkan konflik karena hawanya yang panas dan banyak kalangan yang ingin memonopoli. Setelah dua abad menghilang, barulah tahun 2016 lalu, penanaman lada kembali di lakukan di jambi. Petani di kabupaten Tanjung Jabung barat membudidayakan lagi.

 

Penulis: Rika Adinda

Editor: Renilda PY

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru