Oleh : Al-Khurairah
Mahasiswa kepelatihan olahraga Universitas Jambi
Ini adalah salah satu tragedi paling menyesakkan dan memalukan dalam sejarah olahraga Indonesia. Tiga atlet Taekwondo nasional, Mariska Halinda, M. Bassa Raihan, dan Adam Yazid gagal berlaga pada Kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020. Sebabnya receh banget.
Pengurus melakukan kesalahan sangat fatal dalam administrasi. Ajang kualifikasi Taekwondo untuk Olimpiade Tokyo 2020 berlangsung di Amman, Yordania, pada 21 dan 22 Mei 2021. Kejuaraan itu menjadi satu-satunya kesempatan bagi atlet Indonesia untuk lolos ke event olahraga terbesar empat tahunan itu. Cara lolos ke Olimpiade untuk cabang olahraga taekwondo itu ada tiga. Pertama adalah ranking Olimpiade yang ditetapkan oleh Federasi Taekwondo Dunia (World Taekwondo). Kedua adalah ranking grand slam series. Sedangkan yang terakhir, kejuaraan single event yang ditetapkan sebagai kualifikasi. Kualifikasi itu dibagi dalam empat zona, yakni Afrika, Oceania, Pan American, Eropa, dan Asia.
Nah, tiga atlet Indonesia tidak ada yang memenuhi standar ranking World Taekwondo dan World Taekwondo Grand Slam Series. Jadi, satu-satunya kesempatan bagi atlet Indonesia adalah ikut kualifikasi zona Asia yang berlangsung pada 21 dan 22 Mei lalu, di Amman.
Untuk mempersiapkan ajang ini, Mariska yang turun pada kelas 49 kilogram, Bassa (58 kg), dan Yazid (68 kg) berlatih sangat keras di Korea Selatan selama enam pekan. Uang negara banyak habis untuk membiayai latihan mereka di Korea. Tetapi, mereka harus gigit jari, tidak bisa turun ke arena, dan gagal sebelum sempat bertarung habis-habisan di arena. Mariska, Bassa, dan Yazid tidak bisa mengeluarkan kemampuan terbaik, kekuatan terhebat, tekad, keringat, darah, dan semua hal yang mereka dapatkan dalam latihan di Korea Selatan.
Mereka digagalkan oleh urusan receh: teknis administratif.
Mimpi seumur hidup Mariska, Bassa, dan Yazid untuk bertarung di Olimpiade pupus karena keteledoran pengurus PB Taekwondo Indonesia. Entah siapa yang salah dan pada akhirnya harus bertanggung jawab. Tetapi yang pasti sangat jelas, nama atlet dan ofisial Indonesia tidak pernah muncul dan tercatat dalam data penyelenggara. Kepada Kompas, Ketua Bidang Pembinaan Prestasi Pengurus Besar Taekwondo Indonesia, Yefi Triaji, mengatakan bahwa pihaknya sudah mendaftar secara manual dan diterima oleh panitia pelaksana di Yordania pada 24 dan 25 April.
Atlet Taekwondo Indonesia Gagal Ikut Kualifikasi Olimpiade. Kok Bisa Telat Daftar Atlet Taekwondo Indonesia gagal karena pengurus melakukan kesalahan sangat fatal dalam administrasi. Itu memalukan. Ini adalah salah satu tragedi paling menyesakkan dan memalukan dalam sejarah olahraga Indonesia. Tiga atlet Taekwondo nasional, Mariska Halinda, M. Bassa Raihan, dan Adam Yazid gagal berlaga pada Kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020. Sebabnya receh banget. Pengurus melakukan kesalahan sangat fatal dalam administrasi. Ajang kualifikasi Taekwondo untuk Olimpiade Tokyo 2020 berlangsung di Amman, Yordania, pada 21 dan 22 Mei 2021. Kejuaraan itu menjadi satu-satunya kesempatan bagi atlet Indonesia untuk lolos ke event olahraga terbesar empat tahunan itu.
Cara lolos ke Olimpiade untuk cabang olahraga taekwondo itu ada tiga. Pertama adalah ranking Olimpiade yang ditetapkan oleh Federasi Taekwondo Dunia (World Taekwondo). Kedua adalah ranking grand slam series. Sedangkan yang terakhir, kejuaraan single event yang ditetapkan sebagai kualifikasi.
Kualifikasi itu dibagi dalam empat zona, yakni Afrika, Oceania, Pan American, Eropa, dan Asia. Nah, tiga atlet Indonesia tidak ada yang memenuhi standar ranking World Taekwondo dan World Taekwondo Grand Slam Series. Jadi, satu- satunya kesempatan bagi atlet Indonesia adalah ikut kualifikasi zona Asia yang berlangsung pada 21 dan 22 Mei lalu, di Amman. Untuk mempersiapkan ajang ini, Mariska yang turun pada kelas 49 kilogram, Bassa (58 kg), dan Yazid (68 kg) berlatih sangat keras di Korea Selatan selama enam pekan. Uang negara banyak habis untuk membiayai latihan mereka di Korea. Tetapi, mereka harus gigit jari, tidak bisa turun ke arena, dan gagal sebelum sempat bertarung habis-habisan di arena.
Mariska, Bassa, dan Yazid tidak bisa mengeluarkan kemampuan terbaik, kekuatan terhebat, tekad, keringat, darah, dan semua hal yang mereka dapatkan dalam latihan di Korea Selatan. Mereka digagalkan oleh urusan receh: teknis administratif. Mimpi seumur hidup Mariska, Bassa, dan Yazid untuk bertarung di Olimpiade pupus karena keteledoran pengurus PB Taekwondo Indonesia. Entah siapa yang salah dan pada akhirnya harus bertanggung jawab. Tetapi yang pasti sangat jelas, nama atlet dan ofisial Indonesia tidak pernah muncul dan tercatat dalam data penyelenggara. Kepada Kompas, Ketua Bidang Pembinaan Prestasi Pengurus Besar Taekwondo Indonesia, Yefi Triaji, mengatakan bahwa pihaknya sudah mendaftar secara manual dan diterima oleh panitia pelaksana di Yordania pada 24 dan 25 April.
Yefi menambahkan, pihaknya sudah memenuhi semua syarat dan telah membayar biaya administrasi. Tetapi, kata Yefi lagi, pihaknya diberitahu bahwa pengurus PB TI mengalami teknis dalam memasukkan data pendaftaran secara daring. Keterangan Yefi terkait pendaftaran secara manual itu saja sudah aneh. Sebab, aturan yang dikeluarkan oleh penyelenggara menegaskan bahwa pendaftaran tim peserta hanya bisa diterima melalui registrasi secara online.
Jadi, data tim yang terdiri atas kepala delegasi, manajer, pelatih, dokter atau fisioterapis, dan atlet harus dimasukkan ke dalam Global Management System milik Federasi Taekwondo Dunia. Dan itu semua proses yang dilakukan secara online. Selain itu, pembayaran pendaftaran atlet cuma bisa dilakukan melalui skema transfer Bank yang ditunjuk. Dalam hal ini Housing Bank, Yordania. Jadi, keterangan Yefi bahwa pihaknya sudah melakukan melakukan pendaftaran secara manual di Yordania pada 24 dan 25 April itu sangat aneh.
Apalagi, dari timetbale kompetisi yang dikeluarkan panitia, delegasi peserta baru diperbolehkan mendarat di Queen Alia International Airport, Amman, pada 29 April sampai 19 Mei. Pertanyaannya, pengurus Taekwondo Indonesia itu melakukan apa? Bertemu dengan siapa? Dan membayar biaya apa di Yordania sana?
Kepada CNN Indonesia, Manajer Timnas Taekwondo Indonesia Pino Indra Perdana mengatakan, tiga atlet nasional itu sudah berada di Amman. Tetapi tidak bisa bertarung karena alasan teknis. Sama seperti Yefi, Pino menuturkan bahwa pihkanya sudah menyelesaikan pendaftaran secara manual. Dia membalas email pendaftaran sesuai dengan tahapan. Tetapi berbeda dengan Yefi, menurut Pino, terdapat dua jenis pendaftaran peserta pada ajang ini. Pertama adalah manual. Kedua online. Yang manual, Pino mengatakan tugas manajer adalah membereskan masalah administrasi, soal akomodasi, visa, dan segala
kebutuhan atlet, serta ofisial selama berada di Amman. Selain itu, Pino juga mengatakan sudah membooking hotel, mengurus makanan, dan mengatasi segala hal terkait dengan tetek bengek medis. Karena kejuaraan masih berada dalam situasi pandemi, maka setiap tim harus menyertakan keterangan bebas Covid-19. Dan seluruhnya, kata Pino, sudah selesai pada 27 April. Atau tiga hari sebelum tenggat yang telah ditetapkan. Masih dikutip dari CNN Indonesia, Pino mengatakan, telah membayar US$ 3.150 untuk akomodasi Mariska dkk selama di Yordania. Dia juga telah membayar biaya pendaftaran sebesar US$ 100 per orang. Jadi, total pendaftaran atlet sebesar US$ 300 yang sudah masuk ke panitia penyelenggara. Pino menambahkan, pendaftaran online dilakukan oleh admin PB TI. Menurut dia, sang admin yang tidak disebut namanya itu, langsung memasukkan nama atlet dan ofisial melalui GMS.
Lalu mengapa atlet kita bisa gagal bertanding? Pino mengatakan, dia tidak tahu. Keteledoran dan tindakan amatir pengurus PB TI ini sangat-sangat mengerikan. Sebab, mereka secara langsung telah membunuh peluang atlet untuk berlaga di Olimpiade. Sebuah kejuaraan tertinggi yang bisa dikatakan menjadi salah satu tujuan utama semua atlet di dunia. Apalagi, Mariska Halinda di atas kertas, sangat berpeluang untuk lolos ke Olimpiade. Mariska adalah petarung elite Asia. Pada Kejuaraan Asia 2018 di Ho Chi Minh City, Vietnam, Mariska yang berlaga pada kelas 53 kilogram, sukses meraih perunggu.
Mariska juga pemegang dua emas pada SEA Games Singapura 2015 dan Kuala Lumpur 2017. Pada SEA Games 2019 di Manila, Mariska meraih perak. Jadi, diperkirakan, saat turun pada kelas 49 kilogram, Mariska juga diprediksi bisa berbicara banyak di tingkat Asia.
Kegagalan tiga atlet Indonesia untuk bertarung di Kualifikasi Olimpiade mendapatkan kritikan keras dari Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S. Dewa Broto. Gatot mengatakan, hal ini harusnya menjadi pelajaran bagi semua cabang olahraga di Indonesia. “Kalau mau ikut di event-event internasional, termasuk Olimpiade, tolong dipastikan, dipelajari regulasinya, kemudian komunikasinya harus dipastikan lancar,” ujar Gatot dikutip dari Metro TV News.
Editor : Renilda Pratiwi Yolandini