Namun faktanya, setelah usia sekolah orangtua terkesan lepas tangan. Masyarakat pun tak mau tahu, anak kamu adalah anak mu, dan anak ku adalah anak ku. Hasilnya, banyak sekali anak yang sudah bagus didikannya di rumah, ketika bergaul di masyarakat, seorang anak mendapat pengaruh yang tidak baik. Imbasnya, guru di sekolah yang menjadi pesakitan. Sehingga banyak sekali guru yang tidak maksimal mengajar, bahkan mengibarkan bendera putih untuk beberapa anak yang mendapat kategori bebal.
Padahal orangtua mempunyai hak untuk dilibatkan dan melibatkan diri pada proses pendidkan dan pengajaran di sekolah. Orangtua dan masyarakat bahkan pada kelas-kelas tertentu seharusnya dapat membantu guru dalam mengajar di kelas. Orangtua juga dapat membantu sekolah dalam menegakkan disiplin siswa, misalnya turut berpatroli memastikan semua siswa berada di dalam kelas ketika jam belajar di mulai.
Orang tua juga berhak diundang ke sekolah ketika putera-puteri mereka mendapatkan prestasi akademik dan non-akademik. Selama ini orangtua diundang ke sekolah karena murid melanggar autran sekolah. Paradigma ini harus dirubah, sekali lagi harus dirubah. Orangtua harus dapat menjadi teman ngobrol guru kapanpun dan dimanapun, terutama untuk membicarakan bakat dan interest siswa. Karena hanya dengan orangtualah, guru dapat menggali informasi sedalam-dalamnya tentang bakat dan minat siswa.
Epstein (2004), pakar Parental Involvement dari Amerika mendefinisakan parental involvement sebagai usaha bersama antara rumah dan sekolah untuk bersama-sama memastikan bahwa siswa dapat berhasil di sekolah. Epstein membagi setidaknya ada enam area involvement yakni Parenting, Communicating, Volunteering, Learning at Home, Decision Making, Collaborating with the Community. Epstein menjabarkan ada enam framework yang dapat rumah dan sekolah lakukan. Pertama, Parenting yaitu bahwa sekolah harus memberikan edukasi tentang bagaimana sistem pola asuh yang benar sesuai usia anak. Kedua, Communicating, adalah bahwa komunikasi antara guru dan orangtua harus dapat berjalan dengan baik. Minimal wali kelas harus mampu membuat jembatan rumah dan sekolah baik melalui dunia maya maupun dunia nyata. Yang ketiga adalah volunteering, orangtua berhak melibatkan dan dilibatkan dalam kegiatan sekolah baik kegiatan akademik maupun non-akademik. Yang keempat adalah Learning at home, dalam artian orangtua harus mampu menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif untuk siswa belajar di rumah, betah tinggal di rumah untuk belajar mandiri, bersama teman, dan bersama orangtua. Yang ke-lima adalah Decision Making, inilah yang mayoritas orang tua terlibat di dalamya, yaitu selalu dilibatkan dalam rapat untuk iruan sekolah atau iuran pembanguan sekolah. Terakhir adalah collaborating with the community, jadi intinya orangtua dilibatkan dalam urusan sekolah untuk menjalin kerjasama dengan masyarakat termasuk pengusaha, pemerintah, tokoh adat, dll.
Sudahkah sekolah kita menerapkan ke enam aspek tersebut? Sudahkah orangtua kita melakukan “learning at home” seperti yang dilakukan oleh Ibunya Obama sewaktu di mereka tinggal di Indonesia? Sudahkah orangtua kita ikut masuk ke sekolah dan membantu guru dalam hal akademik maupun non-akademik? Sudahkah orangtua kita membatasi gadget dan televisi seperti orangtua Maudy Ayunda? Jika belum, mari sama-sama kita kampanyekan parental involvement di sekolah, karena it takes a village to raise a child.
*Penulis adalah Pendidik
Direktur Batanghari Foundation
Anggota KA KAMMI Jambi
dan Education Leadership Specialist, Alpha-I (Asosiai Alumni Program Beasiswa Amerika-Indonesia)