Penulis: Ghina Syauqila
Elea yang tadi telah meleleh dan buncah air matanya karena mendengar wejangan sang ayah, buru-buru menyeka pipi. Kemenangan dan kesuksesan yang nyata itu… ada di kotak ini?
“Ambillah, Nak. Dekaplah kemenangan dan kesuksesan yang nyata ini.”
Dilihatnya sang ayah tersenyum penuh makna, memberikan Elea keyakinan untuk membuka kotak kado itu. Sesaat setelah membukanya, tangis Elea kembali meremang. Ada dua amplop tebal di dalamnya. Pertama, amplop pernyataan bahwa ia menerima beasiswa S2 di luar negeri. Kedua, amplop pernyataan bahwa naskahnya yang kemarin ditolak salah satu penerbit, diterima oleh penerbit yang lain. Elea tak hanya menangis, tapi juga melonjak kegirangan. Lantas ia memeluk ayahnya. Iya. Kemenangan dan kesuksesan yang nyata itu… benar-benar senyata itu. Jika teman-temannya dapat satu—itu pun kemenangan dan kesuksesan palsu—Elea dapat dua! Dua kemenangan dan kesuksesan yang nyata!
“Jadi, apa sekarang Elea masih merasa tidak berharga, Nak?”
Elea melonggarkan pelukannya, lalu menggeleng. Air mata masih menggenang di pelupuknya, tapi senyumnya mekar, menjadikan parasnya jelita sempurna. “Tidak, Yah… Elea merasa diri Elea sangat-sangat berharga. Elea menyadari, bahwa Elea tak hanya berharga ketika mendapatkan dua kejutan ini, tapi sepanjang waktu. Bagaimanapun keadaan Elea, Elea selalu berharga… Karena itulah Elea akan belajar dan terus berusaha untuk menghargai diri Elea sendiri, termasuk jatuh bangun perjuangan Elea selama ini.”
“Itu afirmasi positif terindah yang pernah Ayah dengar, Nak,” sang ayah mengusap pundak gadis sulungnya, sangat bangga. “Oh, iya. Ayah punya satu hadiah lagi.”
Mata Elea bertumpahan kilap binar benderang bintang gemintang saat sang ayah memberikannya sebungkus es teh dan roti bakar cokelat.
“Makanlah, Nak. Elea tidak banyak makan dua hari ini. Putri Elea Ayah yang cantik tentu harus makan yang lahap agar dapat melanjutkan perjuangan meraih impian kan, Nak?”
Elea mengangguk, bersemangat. “Terima kasih, Ayah.”
Es teh dan roti bakar cokelat ini berkali-kali lipat lebih enak dari yang kemarin ia makan. Bukan, bukan hanya karena Elea kelaparan, tapi karena Elea tahu… es teh dan roti bakar cokelat pemberian ayahnya adalah halal, mengandung keberkahan. Sebab ayahnya membelinya dengan uang yang didapat melalui pekerjaan yang halal, sekaligus pekerjaan yang didoakan agar senantiasa mengandung keberkahan. Malam ini, bintang bernama Eleanor Hanasta Lanakila kembali terbit, mengorbit. Adiwarna, merona, memesona.
—