Oleh : Ihwang Syaputra*
Oerban.com – Bicara soal cinta, setiap orang punya kisahnya sendiri. Ada cinta kepada sesama manusia, cinta kepada benda, dan ada pula cinta yang paling tinggi cinta kepada Allah, Rabbul ‘Alamin. Sayangnya, cinta yang paling utama ini seringkali kita letakkan di posisi terakhir.
Ada orang yang berkorban habis-habisan demi seseorang yang dicintainya. Dalam satu kisah yang diceritakan, seorang pemuda di awal tahun 2000-an rela menghabiskan pulsa Rp 50 ribu setiap malam hanya untuk menelepon pacarnya jumlah yang kala itu tidak kecil. Ia bekerja keras, menabung, hanya agar bisa mendengar suara orang yang ia sayangi.
Namun di sisi lain, ibunya sendiri harus menumpang telepon di rumah tetangga ketika ingin menghubungi anaknya. Ia berpikir berkali-kali sebelum menekan nomor itu, takut biaya panggilan terlalu mahal dan justru membebani sang anak.
Di sinilah perbandingan itu terasa begitu menampar.
Sang ibu menahan rindu demi tidak memberatkan anaknya itulah wujud cinta yang tulus. Sementara sang anak justru menghamburkan tenaga dan uang untuk seseorang yang cintanya belum tentu setulus itu, itulah wujud cinta yang buta.
Cerita sederhana ini mengajarkan kita tentang arah cinta. Betapa sering manusia keliru menempatkan prioritas cintanya: berkorban begitu besar untuk cinta yang fana, tetapi begitu pelit memberi waktu dan tenaga untuk Sang Pemberi cinta sejati.
Kepada manusia, kita bisa rela begadang, berkorban, dan menanggung lelah demi sesuatu yang belum pasti.
Tapi kepada Allah, yang memberi hidup dan segala rasa cinta itu sendiri, kita sering enggan sekadar meluangkan waktu sejenak untuk sujud dan bersyukur.
Cinta sejati seharusnya membawa kita kembali kepada sumbernya. Dan barangkali, kisah pemuda dan ibunya tadi bukan hanya tentang hubungan keluarga melainkan tentang kita semua, yang sering lupa: bahwa cinta yang sejati tak meminta banyak, ia justru memberi tanpa pamrih.
Cinta yang Menguji Keimanan
Cinta, kata banyak ulama, bukan hanya soal perasaan. Ia adalah ujian iman. Al-Qur’an dalam surah At-Taubah ayat 24 bahkan menegaskan bahwa bila cinta kepada orang tua, anak, pasangan, harta, dan rumah lebih kita utamakan dibanding cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya.
Cinta yang benar seharusnya mendorong ketaatan, bukan menjauhkan dari Allah. Karena itu, Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang hingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Cinta yang Mengubah Sikap Hidup
Kalau kita mencintai Allah, tanda-tandanya akan tampak dalam keseharian. Kita akan lebih mudah khusyuk dalam ibadah, lebih sabar dalam ujian, dan tidak mudah tergoda oleh kesenangan dunia. Dunia bukan lagi pusat hidup, melainkan sarana menuju ridha-Nya.
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tapi menempatkannya di tangan, bukan di hati.
Kita boleh memiliki harta, jabatan, atau popularitas, tapi jangan sampai semua itu menenggelamkan cinta kita kepada Sang Pencipta.
Menumbuhkan Cinta Tertinggi
Lalu bagaimana agar cinta kepada Allah tumbuh dalam diri kita?
Pertama, mengenal Allah melalui Asmaul Husna dan sifat-sifat-Nya.
Kedua, mendekat melalui Al-Qur’an, karena ia adalah surat cinta Allah untuk hamba-Nya.
Ketiga, menjauhi dosa, sebab maksiat menutup hati dari cahaya cinta Ilahi.
Keempat, bergaul dengan orang-orang saleh, karena cinta itu menular; siapa yang sering bersama ahli maksiat, hatinya akan terarah ke sana begitu pula sebaliknya.
Dan yang terakhir, tunjukkan cinta dengan aksi, bukan hanya kata. Kalau kita bisa berkorban waktu dan uang untuk seseorang yang kita cintai, mestinya kita juga bisa berkorban untuk Allah melalui ibadah, dakwah, dan amal kebaikan.
Menutup dengan Sebuah Renungan
Cinta kepada Allah bukan berarti menolak cinta kepada manusia. Justru, ketika kita mencintai Allah terlebih dahulu, cinta kepada manusia orang tua, pasangan, sahabat akan menjadi lebih sehat, tulus, dan menenangkan.
Karena cinta yang bersandar pada Allah tidak menuntut balas, tidak mengikat dengan pamrih, dan tidak membuat gelisah saat tak dibalas.
Cinta seperti inilah yang membuat hidup menjadi ringan karena yang kita cari bukan penerimaan manusia, melainkan ridha Tuhan semesta alam.

