Penulis: Novita Sari
Sahabat, kita tentu pernah melihat hal-hal lucu nan menggemaskan, seperti barang imut, anak bayi, anak kecil, atau hewan seperti kucing atau kelinci. Ketika kegemasan itu rasa-rasanya meraup-raup ulu hati, pernahkah Sahabat merasa ingin meremas atau mencubit sesuatu yang lucu itu? Atau mengucapkan: “Ihhh, lucu banget! Gemas! Jadi pengen gigit, deh!” saat melihat seekor anak kucing. Atau pernahkah saking gemasnya kepada seorang anak kecil, Sahabat mencubit pipinya bertubi-tubi? Dalam ilmu psikologi, fenomena seperti ini disebut cute aggression.
Apa itu cute aggression?
Cute aggression atau yang dapat juga disebut sebagai agresi lucu dalah suatu dorongan yang menyebabkan seseorang ingin meremas, mencubit, menggigit, meremukkan, memukul, atau memunculkan perilaku-perilaku agresif yang menggambarkan ekspresi dimorsif tanpa disertai dengan keinginan menyakiti saat melihat hal-hal yang lucu atau menggemaskan. Ekspresi dimorsif sendiri merupakan pengekspresian atas perasaan positif yang yang memicu tindakan bertentangan. Ilustrasi ekspresi dimorsif ini dapat diilustrasikan dengan kejadian orang-orang yang berbahagia namun justru menangis pada saat kelahiran bayi atau saat acara pernikahan. Sebenarnya mengapa hal tersebut dapat terjadi? Padahal yang kita rasakan adalah emosi positif, namun mengapa kita menyikapinya dengan perilaku berkebalikan?
Proses terjadinya cute aggression
Walaupun mengandung agresivitas, Sahabat tidak perlu khawatir atau merasa bersalah karena sebenarnya cute aggression ini adalah fenomena yang wajar dan alami. Dilansir dari IDN Times dan Vice yang memaparkan pendapat para ahli dalam penelitian mereka, cute aggression terjadi karena terjadinya ‘tabrakan’ antara dua sistem pada otak yang terlibat saat melihat sesuatu yang lucu. Dua sistem otak yang dimaksud adalah sistem emosi pada bagian limbik otak dan sistem penghargaan. Apakah Sahabat sudah tahu bahwa otak kita pun memiliki sistem penghargaan? Sistem penghargaan ini berfungsi untuk memunculkan perasaan enak dan puas saat seseorang melakukan aktivitas-aktivitas yang mendorong kelangsungan hidupnya atau dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara naluriah, seperti contohnya makan, minum, tidur, dan sebagainya.
Pada saat seseorang melihat sesuatu yang lucu, sistem emosi pada otak manusia akan bekerja untuk menghasilkan emosi-emosi menyenangkan, seperti senang, gemas, empati, bahkan tak jarang memunculkan motivasi untuk memiliki atau merawat hal-hal yang lucu itu. Inilah pula sebabnya ketika kita melihat kucing yang menggemaskan, kita jadi ingin membawanya pulang dan merawatnya. Atau ketika kita melihat barang-barang imut di pusat perbelanjaan, kita jadi sangat ingin membeli dan memilikinya. Hal ini juga dapat dicontohkan oleh para penggemar K-Pop yang akan histeris karena euforia dan bisa jadi memukul-mukul hal di sekitarnya saat menyaksikan artis idolanya bertingkah manis, lucu, dan menggemaskan.
Namun, apabila otak merespon dengan memberikan emosi positif yang berlebihan, ini dapat menekan sistem penghargaan otak hingga menyebabkannya kewalahan yang membuat seseorang ingin bertindak lebih banyak dibanding hanya sekadar merasa lucu atau gemas saja. Pada saat inilah, seseorang akan merasakan cute aggression.
Semakin lucu, semakin merasa gemas, semakin kuat cute aggression yang muncul
Dari pemaparan di atas, syarat untuk memicu cute aggression adalah emosi positif yang berlebihan. Hasil penelitian cute aggression yang dilakukan oleh Katherine Stavropolous juga membuktikan bahwa semakin lucu sesuatu, maka akan semakin besar emosi positif yang dihasilkan, dan selanjutnya akan kian besar pula probabilitas terjadinya cute aggression.
Hal ini didasari oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bayi hewan mendapat-kan reaksi cute aggression yang lebih kuat daripada hewan dewasa.