Jakarta, Oerban.com – Program “Buka Mata” yang dibawakan oleh Benni Inayatullah di kanal YouTube Geolive mengupas isu deforestasi yang kini kembali mencuat menyusul pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait kelapa sawit, pada Kamis (16/1/2025).
Pernyataan Presiden yang menyebut perlunya peningkatan penanaman sawit serta klaim bahwa deforestasi akibat sawit tidak membahayakan memicu perdebatan panas, terutama dari aktivis lingkungan seperti Greenpeace Indonesia.
Menurut Greenpeace Indonesia, deforestasi memberikan dampak buruk, termasuk meningkatnya emisi karbon dan potensi bencana alam. Sementara itu, Presiden Prabowo menegaskan bahwa sawit adalah komoditas strategis nasional dengan kontribusi signifikan terhadap ekonomi negara. Pada 2023, luas kebun sawit di Indonesia mencapai 17,3 juta hektar atau setara dengan 1,1 kali luas pulau Jawa dan menyumbang 58% pasokan minyak sawit dunia.
Namun, isu sawit tak lepas dari tekanan internasional. Uni Eropa, misalnya, mengeluarkan regulasi pada 2019 yang mengkategorikan sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap deforestasi. Kritik juga muncul atas standar ganda negara-negara maju yang dinilai lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi mereka sendiri.
Benni Inayatullah menyoroti bahwa kelapa sawit sebenarnya merupakan minyak nabati yang paling efisien. Untuk menghasilkan jumlah minyak yang sama, sawit hanya membutuhkan sepersembilan lahan dibandingkan minyak nabati lain seperti kedelai atau bunga matahari. Bahkan, data global menunjukkan sawit hanya menyumbang 2% dari total deforestasi global, jauh lebih kecil dibandingkan peternakan sapi yang menyumbang 24%.
Salah satu solusi yang disarankan adalah memanfaatkan 20 juta hektar lahan tidak produktif untuk pengembangan sawit dan pertanian. Lahan ini dapat digunakan tanpa harus merusak hutan primer. Menurut Kementerian Kehutanan, terdapat potensi 1,1 juta hektar lahan yang mampu menghasilkan 3,5 juta ton beras per tahun, setara dengan total impor beras Indonesia pada 2023.
Kebijakan ini dianggap sebagai langkah kompromi antara kebutuhan pangan, ekonomi, dan pelestarian lingkungan. Namun, tantangan utama adalah memastikan pelaksanaannya dilakukan secara transparan dan berkeadilan agar tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, seperti oligarki.
Benni mengingatkan pentingnya pengawasan masyarakat terhadap kebijakan besar seperti ini.
“Kita harus memastikan bahwa pemanfaatan lahan dilakukan dengan tujuan yang jelas, yaitu kemandirian pangan dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Dengan kebijakan yang tepat dan pengawasan yang baik, Indonesia diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, ketahanan pangan, dan pelestarian lingkungan, sekaligus mempertahankan posisinya sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia.
Editor: Julisa