Lombok, Oerban.com – Setelah empat gelombang gempa besar yang beruntun terjadi di Pulau Lombok dan terakhir berdampak parah di Pulau Sumbawa, pada 23 Agustus 2018 Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2018 Tentang Percepatan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi pasca bencana gempa bumi di Kabupaten Lobar, KLU, Loteng, Lotim, Kota Mataram dan wilayah terdampak di Provinsi NTB.
Dalam siaran rilisnya, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyatakan bahwa regulasi yang dibuat pemerintah belum berjalan dengan baik. Berikut petikan rilis Fahri Hamzah dari Mekah (25/08/2018) :
“Awalnya saya berharap regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah akan memadai. Harapan itu mesti tercermin dalam politik kebijakan dan anggaran pemerintah yang memuat dengan jelas struktur kerja, penanggungjawab penanganan; alokasi, besaran dan sumber pembiayaan anggaran, serta kejelasan waktu dan rencana kerja penanganan dampak gempa di Pulau Lombok dan Sumbawa.
Dalam hampir satu bulan Lombok dan Sumbawa digoncang gempa, semua mata melihat bagaimana sistem kerja penanganan gempa. Tanpa mengurangi penghargaan dan apresiasi kepada seluruh pihak baik pemerintah, swasta dan solidaritas masyarakat dari seluruh Indonesia, namun manajemen penanganan masih belum berjalan dengan baik. Hal tersebut terlihat dalam tahap tanggap darurat kemaren, adanya protes warga, bantuan yang tak tersebar secara merata, adanya kelompok masyarakat yang merasa belum diperhatikan dan lain sebagainya adalah akibat dari manajemen penanganan yang kurang terkoordinir dengan rapi.
Permasalahan krusial lain yang akan terjadi adalah di masa pemulihan, tanpa manajemen dan sistem kerja yang sistematis dan terorganisir akan sangat berbahaya bagi mental psikologi korban. Sistem dan manajemen kerja inilah ruang nyata tugas pemerintah, tidak hanya untuk memastikan proses rekonstruksi dan rehabilitasi berjalan dengan baik, tapi juga untuk mengolah solidaritas dan empati masyarakat sebagai modal sosial terbesar yang dimiliki oleh bangsa ini.
Atas Inpres yang telah diterbitkan oleh presiden. Saya punya beberapa catatan sebagai berikut:
1. Politik kebijakan Presiden yang hanya mengeluarkan putusan berupa Instruksi Presiden adalah catatan yang harus digaris bawahi karena hal tersebut menujukkan tingkat keseriusan pemerintah pusat dalam menangani gempa Lombok Sumbawa. Status Instruksi Presiden hanyalah dalam rangka memberikan landasan legal kepada kementerian untuk mengelola program regulernya dalam menangani gempa Lombok Sumbawa. Tak ada struktur komando tunggal, empat Menko akan bekerja dengan irama dan dan nada birokrasi normal, demikian dengan kementerian akan bekerja dalam garis kordinasi normal. Artinya Inpres yang baru ditandatangani oleh Presiden Jokowi tersebut hanyalah memuat daftar dan pembagian kerja melalui birokrasi normal, bukan melalui “birokrasi bencana” yang bisa menembus barier normatif birokratik untuk bisa mengakselerasi proses pemulihan.
Sikap terhadap bencana Lombok Sumbawa ini berbeda dengan politik kebijakan pemerintah dalam menangani gempa Aceh dan Jogja. Presiden SBY mengeluarkan Perppu Nomor 2 tahun 2005 Tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Kepres No. 9 Tahun 2006 Tentang Tim Kordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Jogja. Dasar regulasi yang dikeluarkan Presiden Jokowi dalam gempa Lombok Sumbawa yang hanya sebatas Inpres yang artinya hanya mengkonsolidasi program reguler yang ada dikementerian tanpa ada struktur khusus, sumber pembiayaan jelas, dan target kerja sebagaimana dalam Perppu Aceh dan Kepres Jogja menjadi penanda tingkat keseriusan pemerintah dalam memberi perhatian pada pemulihan Lombok Sumbawa.
2. Instruksi Presiden 5/2018 ditujukan kepada 31 pihak terdiri dari 25 unsur kementrian/lembaga, dan 6 unsur pemerintah daerah yang terdiri dari pemerintah provinsi NTB beserta 5 bupati/walikota sepulau Lombok.
Tidak disebutnya Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat secara ekplisit dalam Inpres ini mencipta protes keras dari masyarakat korban gempa di wilayah tersebut. Hampir tiap jam Saya mendapat laporan protes dari masyarakat NTB karena gempa 6.9 SR tanggal 19 Agustus justru memiliki daya rusak besar di dua kabupaten tersebut. Padahal Inpres dikeluarkan 4 hari pasca 2 Kabupaten di Pulau Sumbawa tersebut luluh lantah. Meski Saya menangkap bahwa Pemerintah tidak sedang mengesampingkan wilayah terdampak gempa lain di NTB, namun psikologi bencana membuat masyarakat sensitif dan merasa dianaktirikan.
Dari keterangan Posko BPDB per 22 Agustus 2018, kita dapatkan informasi gelombang gempa yang terakhir pada 19-20 Agustus, menyebabkan 7 korban meninggal dunia di Sumbawa dan KSB, 62 orang luka-luka, dan diperkirakan 6.236 rumah rusak. Saya berharap pemerintah memiliki sensitifitas yang tinggi dalam membuat klausul kebijakan mengingat psikologi bencana membuat perasaan masyarakat dan korban sangat sensitif.
3. Inpres 5/2018 tidak menjangkau 3 unsur kementrian/lembaga yang hemat saya, penting untuk dilibatkan. 3 unsur kementrian tersebut adalah Kementrian Desa, BAPPENAS dan Kementrian Pariwisata”. (TIM)