Surabaya, Oerban.com – Ketua DPD RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, mengupas habis masalah ketahanan pangan dari sisi maritim saat mengisi Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan dan Tata Negara Indonesia, di Universitas Hang Tuah Surabaya, Kamis (27/10/2022).
Di kampus yang didirikan oleh TNI Angkatan Laut itu, La Nyalla menyampaikan jika Ketahanan dan kedaulatan pangan adalah isu penting, selain energi dan pemanasan global serta lingkungan.
“Karena, pangan bisa menjadi pemicu perang dan ketegangan kawasan di masa mendatang,” kata La Nyalla.
Apalagi, krisis pangan dunia diperkirakan terjadi menjelang tahun 2030. Saat itu Indonesia juga menuju ledakan jumlah penduduk usia produktif, yang mencapai 70 persen populasi dari total penduduk di Indonesia.
Badan Pangan Dunia (FAO) juga meramalkan akan terjadi peningkatan kebutuhan pangan sebanyak 60 persen di tahun 2030, agar penduduk dunia tidak terpuruk dalam kemiskinan dan kelaparan.
Di sisi lain, negara-negara di dunia mulai menyiapkan diri untuk menghadapi perubahan global. Dengan melakukan re-posisi dan mempertajam keunggulan yang dimiliki sebagai andalan masa depan mereka.
“Menurut saya masa depan Indonesia seharusnya adalah maritim. Karena Indonesia adalah negara maritim,” ulas dia.
Namun, Senator asal Jawa Timur itu menilai Indonesia sebagai negara maritim membangun ketahanan pangan dengan paradigma yang tidak tepat.
“Indonesia sebagai negara maritim seharusnya lebih banyak mengkonsumsi ikan. Bukan daging sapi. Karena populasi sapi yang lambat pasti tidak terkejar, bila ratusan juta penduduk ini terpola mengkonsumsi daging. Akibatnya kita harus selalu impor daging, sebab peternakan di dalam negeri tidak mencukupi,” ujar dia.
Celakanya, begitu terjadi wabah penyakit hewan ternak, negara ini masih harus melakukan impor vaksin. Sebab industri dasar farmasi Indonesia masih lemah.
“Itu artinya kita tidak mengamankan apa yang kita kembangbiakkan untuk kita makan dari ketergantungan komponen vital yang masih harus diimpor,” lanjut Mantan Ketua Kadin Jawa Timur itu.
Paradigma keliru yang kedua, bangsa ini mengejar tingkat produksi beras nasional dengan menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Bagi La Nyalla kebijakan sebuah bumerang. Selain merusak lingkungan, juga ada komponen utama yang harus diimpor.
“Untuk memproduksi pupuk kimia dan pestisida, sebagian komponennya kita masih impor. Dan fakta sampai hari ini, Indonesia masih menjadi importir pupuk kimia,” paparnya.
Lebih dari itu, La Nyalla menambahkan dampak pestisida dan pupuk kimia memperburuk kualitas tanah dan pencemaran laut. Pada akhirnya berdampak terhadap sektor perikanan. Karena ikan makin menjauh, dan itu menyusahkan nelayan skala kecil.
“Dampak multi dimensi ini dalam jangka panjang membuat kita tergantung kepada impor beberapa komoditas pangan. Inilah yang menguntungkan para pemburu rente dari impor,” ucapnya.
Ketiga, negara-negara di dunia sudah menerapkan bioteknologi agrikultural sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan. Tetapi Indonesia masih memperdebatkan, apakah aman untuk dikonsumsi. Padahal Indonesia memiliki Lembaga Riset dan Penelitian untuk itu.
“Secara teori, bioteknologi juga bisa menjadi jawaban atas perubahan iklim global, krisis air, sekaligus pengurangan pestisida dan emisi karbon dunia. Itu jika orientasi bioteknologi dibaurkan dengan program lingkungan hidup dan energi hijau,” katanya.
La Nyalla menambahkan di dunia ini masing-masing negara memiliki keunggulan berbeda. Dicontohkannya Amerika memastikan keunggulan kompetitif karena mereka punya ratusan perusahaan raksasa dunia dan berkantor pusat di sana. Sehingga milyaran US Dolar keuntungan mereka terdistribusi menjadi pemasukan pajak bagi negara.
Korea Selatan melaunching posisi masa depannya sebagai negara industri senjata dan alat berat di Asia. Arab Saudi punya Saudi Vision 2030, dengan membangun kota baru di Kota Neom, sebagai magnet pariwisata dunia. Karena mereka mulai menyadari minyak mereka akan habis dan menjadi energi yang bukan primadona lagi.
Indonesia, kata La Nyalla, memiliki keunggulan komparatif yaitu iklim tropis, tanah subur, laut yang luas, garis pantai terpanjang kedua di dunia, hutan dengan biodiversity lengkap, sumber daya alam dan mineral di dalam bumi, serta alam yang sangat indah.
“Keunggulan itulah yang harus dioptimalkan untuk menghadapi masa depan. Indonesia bisa menjadi harapan hidup penduduk bumi. Sebab sangat bisa menjadi lumbung pangan dunia, sekaligus penyedia oksigen bagi penduduk bumi,” ulasnya.
Tetapi faktanya, justru paradoksal yang terjadi pada bangsa ini. Jutaan rakyat Indonesia sangat miskin dan jutaan lagi rentan menjadi miskin. Sedangkan Oligarki Ekonomi semakin membesar dan menguasai apa saja. Termasuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak.
“Mereka juga masuk ke politik dan memaksa kekuasaan berpihak kepada mereka melalui puluhan Undang-Undang dan peraturan yang melanggengkan kepentingan mereka,” tuturnya.
Demi masa depan Indonesia yang lebih baik, LaNyalla mengajak semua elemen bangsa untuk kembali kepada rumusan yang digagas para pendiri bangsa. Yakni tentang sistem demokrasi dan sistem ekonomi yang paling sesuai dengan bangsa yang super majemuk dan bangsa yang luas dan kaya akan sumber daya alam ini.
Acara tersebut dihadiri oleh Wakil Rektor I UHT, Prof Dr Dian Mulawarmanti, drg, MS, PBO, Wakil Rektor II Dr Ir Siswo HS, MMT, IPU, Wakil Rektor III Dr Sulistiyanto, SE, MM, MSc, PSC, para Dekan dan seluruh Kaprodi, serta civitas akademika Universitas Hang Tuah.
Ketua DPD RI didampingi Ketua Kadin Surabaya M Ali Affandi, Ketua KONI Jatim Muhammad Nabil dan Ketua Umum Pengprov Muaythai Jatim yang juga Staf Ahli Ketua DPD RI Baso Juherman.(*)
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini