Jakarta, Oerban.com – Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) NasDem Komisi XI DPR RI, Fauzi H Amro menolak rencana pemerintah yang menjadikan sembilan bahan pokok (sembako) serta biaya pendidikan sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Rencana pengenaan PPN terhadap sembako dan biaya pendidikan itu dilakukan melalui revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Menurut Fauzi, kebijakan tersebut sangat kontraproduktif dengan program pemerintah dalam melakukan pemulihan ekonomi di masa pandemi.
“Kebijakan ini sangat tidak tepat dilaksanakan saat ini, mengingat masyarakat masih dihadapkan pada kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19,” ujar Fauzi dalam keterangan persnya, Minggu (13/6).
Legislator NasDem itu menyebutkan, daya beli masyarakat akibat pandemi saat ini belum pulih.
“Kalau sembako dikenai pajak, otomatis harga barang-barang di tingkat konsumen juga akan ikut naik, sehingga daya beli akan kembali tertekan. Padahal daya beli dibutuhkan untuk pulih dari pandemi Covid-19,” jelasnya.
Fauzi menambahkan kalau sembako dan biaya pendidikan dikenai pajak akan semakin menyulitkan masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang serba susah.
“Seharusnya kebijakan pemerintah hadir meringankan beban rakyat bukan menyusahkan rakyat,” imbuhnya.
Dia juga menyebutkan bahwa sembako merupakan komoditas yang penting bagi masyarakat, demikian halnya pendidikan.
“Itu adalah hak asasi yang dijamin undang-undang, tak boleh diliberalisasi, diserahkan pada mekanisme pasar. Negara mesti hadir dalam pelayanan pendidikan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dengan harga yang terjangkau,” tegasnya.
Beberapa waktu lalu, kata Fauzi, pemerintah memberikan stimulus Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas pembelian mobil baru dikurangi bahkan sampai 0%. Tapi rakyat malah dikenai pajak sembako dan biaya pendidikan. Kebijakan ini sangat tidak adil, karena targetnya menyasar ekonomi kecil ke bawah.
“Karenanya, kami Fraksi NasDem DPR-RI solid menolak kebijakan pajak sembako dan pajak biaya pendidikan karena akan semakin membebani ekonomi rakyat dan makin membuat daya beli masyarakat semakin tertekan,” tegasnya.
Fauzi mendesak pemerintah sesegera mungkin menarik dan membatalkan draf revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP terkait pengenaan PPN bahan pokok dan biaya pendidikan itu.
Menurut Legislator NasDem itu, dampak dari penerapan PPN tersebut bukan saja membebani masyarakat kelas menengah ke bawah, namun berpotensi meningkatkan angka kemiskinan, serta kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi.
“Hingga saat ini Komisi XI DPR-RI belum mendapatkan draf mengenai perubahan ketentuan umum perpajakan. Mungkin drafnya masih berada pada pimpinan DPR-RI. Namun saya sudah mendengar keluhan masyarakat akan rencana tersebut, sehingga kami sebagai wakil rakyat akan menolak jika ketentuan pajak tersebut membebani masyarakat,” tegas Fauzi Amro.
Fauzi menyarankan, Kemenkeu mestinya lebih kreatif dalam menambal kekurangan APBN di sektor pajak tapi bukan dengan cara menarik pajak sembako dan biaya pendidikan.
Misalnya mencari sumber pendapatan lain dengan mengejar pajak perusahan-perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia seperti Google, Facebook, Instagram, Twitter, Netflix dan lain-lain serta pajak penghasilan (PPh) bagi pelaku e-commerce atau toko online, marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Gojek, Grab dan lain-lain.
Kedua, kata Fauzi, pemerintah juga bisa memangkas gaji para Direksi dan Komisaris BUMN yang dikenal cukup besar bahkan mencapai miliaran rupiah dalam setahun.
“Kemenkeu juga mesti melakukan reformasi dan memperbaiki sistem data base perpajakan melalui digitalisasi pajak, sehingga semua wajib pajak terdata dengan baik dan memudahkan pegawai pajak untuk menarik pajak,” ujarnya.
Selain itu, tambahnya, penerimaan pajak masih bisa digenjot dengan cara selain menaikkan tarif, mengingat harga komoditas di internasional juga sudah mulai membaik. Penerimaan dari sisi pabean juga menunjukkan tren positif. Jadi pilihan menaikkan tarif itu pilihan tepat untuk menggenjot pendapatan pajak.
“Jadi tak perlu sembako dan biaya pendidikan dikenai pajak, terlebih di saat masyarakat sedang mengalami kesulitan ekonomi karena pandemi Covid-19,” tandasnya.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini