email : oerban.com@gmail.com

23.7 C
Jambi City
Wednesday, November 19, 2025
- Advertisement -

Kebijakan Pembentukan Batalyon Baru TNI: Antara Kebutuhan Pertahanan dan Kekhawatiran Militerisme

Populer

Penulis: Andi Rahmat*

Oerban.com – Pemerintahan Prabowo berencana membentuk ratusan batalyon baru TNI, dengan target 100 batalyon teritorial yang akan segera direalisasikan. Batalyon ini dimaksudkan untuk mendukung program ketahanan pangan nasional. Namun, kebijakan ini menuai berbagai kritik, terutama terkait dua hal: fungsi utama TNI sebagai elemen perang dan kekhawatiran akan bangkitnya kembali militerisme di Indonesia.

Kritik tersebut memiliki dasar argumen yang kuat. Sebagai kekuatan perang, TNI seharusnya fokus memperkuat profesionalisme militer, bukan terlibat dalam aktivitas di luar fungsi utamanya. Selain itu, memori traumatik era Orde Baru yang militeristik masih segar dalam ingatan banyak orang.

Konsep militer praetorian, seperti yang diutarakan Samuel Huntington, menunjukkan kecurigaan dan ketidakpercayaan militer terhadap kemampuan sipil, seolah hanya militer yang mampu menciptakan “ketertiban.”

Baca juga  Catatan KontraS di Hut ke-77 TNI: Budaya Kekerasan Tak Kunjung Usai

Landasan Argumentasi Pembentukan Batalyon Baru
Meski begitu, rencana pembentukan 100 batalyon baru ini juga memiliki landasan argumen yang kuat.

Kebutuhan nasional akan postur pertahanan dan ketahanan yang kokoh mendorong pembentukan batalyon baru di tubuh TNI, terlepas dari kebutuhan pemerintah untuk mempercepat program ketahanan pangan.

Ide membentuk 100 batalyon sebenarnya bukan hal baru. Pada masa Menteri Pertahanan Jenderal Ryamizard Ryacudu, ide ini sudah muncul. Bedanya, Jenderal Ryamizard menginginkan batalyon-batalyon ini murni batalyon tempur dengan kualifikasi raider, disiapkan untuk pertempuran berlarut.

Kita sering kali lupa pelajaran sejarah. Sepanjang sejarah, peradaban besar yang kuat dan makmur selalu ditopang kekuatan militer yang tangguh. Hampir tidak ada bangsa besar yang kuat dan makmur tanpa militer yang kuat. Ini sudah menjadi adagium tersendiri.

Baca juga  Polda Jambi-TNI Gelar Patroli Skala Besar Jaga Kondusivitas Kota

Imperium besar di masa lalu, seperti Yunani, Babilonia, Romawi, Persia, Kekhalifahan Islam, Kekaisaran China, Imperium Ottoman, Imperium Mughal, bahkan Majapahit, semuanya ditopang kekuatan militer yang solid. Begitu pula dengan Imperium Inggris, Spanyol, Rusia, Prancis, Prusia, Austro-Hungaria, dan di era modern, Amerika Serikat. Semua menunjukkan bahwa kemakmuran ekonomi suatu bangsa memerlukan “pengawalan” yang kuat dari kemampuan militernya.

Menalar Keinginan Pemerintahan Prabowo

Bagaimana menalar keinginan pemerintahan Prabowo yang hendak membangun 100 batalyon baru ini?

Jika keinginan ini diletakkan dalam kerangka ambisi Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia, kita bisa menemukan keterhubungannya.

Presiden Prabowo sering menyampaikan betapa besar kekayaan alam Indonesia. Kekayaan ini, selama kurun waktu yang lama, menjadi incaran bangsa lain karena lemahnya Indonesia dalam menjaga dan memanfaatkan potensi besarnya.

Tampak jelas keinginan pemerintahan Prabowo untuk memastikan pencapaian kemakmuran bangsa, yang pada saat bersamaan, sanggup dijaga dan ditopang kuat oleh kekuatan militer Indonesia sendiri.

Baca juga  Koalisi Masyarakat Sipil Ungkap 3 Masalah Serius Soal Supres Panglima TNI

Keinginan ini realistis. Berbagai peristiwa global belakangan ini menunjukkan meningkatnya intensitas konflik antarnegara yang berujung pada perang terbuka. Ditambah lagi, ketegangan di kawasan Indo-Pasifik yang melibatkan dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat dan China, menjadi sumber kekhawatiran. Indonesia, dengan potensi kekayaannya yang besar dan letak geografisnya, tidak bisa terlepas dari dinamika tersebut.

Pergeseran Kekuatan Ekonomi Global dan Dampaknya pada Indo-Pasifik

Jika kita menilik pergeseran besar peta kekuatan ekonomi dunia, terlihat jelas bahwa Asia, khususnya kawasan Indo-Pasifik, adalah episentrum baru.

Pada tahun 1960, empat kekuatan ekonomi besar dunia adalah AS ($543 Miliar), Jerman Barat ($146 Miliar), Inggris ($73 Miliar), dan Prancis ($62 Miliar). Keempatnya adalah negara Barat, tiga di antaranya di Eropa.

Diperkirakan pada tahun 2027, keadaan itu akan berubah, dengan empat kekuatan ekonomi dunia berturut-turut adalah AS, China, Jepang, dan India.

Baca juga  Dinas TPHP Provinsi Jambi Perkuat Kembali Sinergi dengan TNI Melalui Penandatanganan MoU Swasembada Pangan

Pergeseran ini membawa konsekuensi pada peningkatan proyeksi kekuatan dunia ke kawasan Indo-Pasifik. Dalam berbagai diskusi dengan perwakilan militer negara lain di Pameran Indo Defence baru-baru ini, ada kesepahaman yang sama: Indo-Pasifik sebagai kawasan ekonomi paling dinamis saat ini, juga menjadi kawasan yang secara militer mengalami eskalasi dinamis. Kawasan ini kini menjadi titik baru bagi proyeksi militer banyak negara yang memiliki kepentingan ekonomi di sini.

Keadaan inilah yang mesti dihadapi dan dimitigasi dengan baik oleh pemerintahan Prabowo. Pembangunan ekonomi Indonesia kini tidak lagi terpisah dari gesekan geopolitik dunia. Bahkan, Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru di kawasan turut menarik perhatian strategis negara lain, termasuk dari negara-negara Eropa yang tidak berada di kawasan Indo-Pasifik.

Pergeseran proyeksi ini, dari sudut pandang penganut teori realisme dalam hubungan internasional, mencerminkan pergeseran episentrum konflik. Dari kacamata teori realisme, pergeseran ini bersifat survival (keberlangsungan hidup).

Baca juga  Tanggapi Munculnya Wacana TNI-Polri Jadi Kepala Daerah, Mardani: Perlu Dipikir Matang-Matang

Ketegangan di kawasan ini bersumber dari kepentingan banyak negara untuk bertahan hidup di tengah derasnya perubahan dunia di berbagai sektor. Terutama, keberlangsungan ekonomi bagi banyak negara-negara itu, yang kini dan di masa depan, akan sangat bergantung pada kawasan Indo-Pasifik.

Baca juga  Gerindra Apresiasi Larangan TNI-Polri Aktif jadi Pj Gubernur oleh Presiden Jokowi

Mengatasi Kerawanan Militer Indonesia

Dalam mengantisipasi semua itu, kita dihadapkan pada kekuatan Militer Indonesia yang masih sangat rentan, baik dari segi peralatan maupun personel. Pengaruh penggentarnya belum memadai. Hal ini sudah disadari sejak lama; kemampuan militer Indonesia yang masih jauh dari sepadan di kawasan telah menjadi pembahasan tersendiri.

Salah satu titik rawan itu adalah jumlah personel militer Indonesia. Untuk negara sebesar Indonesia, jumlah personel militer kita masih jauh dari rasio yang wajar. Terdapat 465.000 personel militer aktif di Indonesia. Rasio militer aktif dengan jumlah penduduk Indonesia adalah 1:600, bahkan lebih rendah dari negara tetangga seperti Malaysia yang rasionya 1:300.

Belum lagi fakta bahwa Indonesia, tidak seperti Singapura atau Korea Selatan, tidak memiliki kebijakan wajib militer bagi warganya.

Baca juga  Presiden Jokowi Apresiasi Peran TNI Lawan Pandemi Covid-19

Pemerintah sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jokowi berusaha mengatasi ini dengan membentuk komponen cadangan, yang kemudian sulit terwujud karena banyak ditentang.

Tampaknya, Pemerintahan Prabowo menyimpulkan bahwa ketimbang berupaya membentuk komponen cadangan yang ditentang dan tidak signifikan memperkuat postur pertahanan, lebih baik membentuk batalyon-batalyon baru sebagai komponen aktif militer Indonesia.

Batalyon baru ini merupakan unsur militer murni yang disiapkan untuk menghadapi konflik bersenjata. Seluruh aspek pendidikan dan pelatihannya tetap sesuai standar TNI. Di masa damai, selain kemampuan militer murninya, batalyon baru ini juga akan memiliki fungsi tambahan yang bersifat teritorial. Jika dicermati, TNI akan memiliki dua jenis batalyon: batalyon tempur murni untuk keperluan perang, dan batalyon “cadangan” TNI yang memiliki kemampuan teritorial non-militer, namun sewaktu-waktu dapat berfungsi sebagai komponen tempur.

Hal strategis lain adalah upaya pemerintah untuk tidak memicu kekhawatiran negara lain dengan pembentukan batalyon-batalyon baru. Sebagaimana dimaklumi, pembesaran kekuatan militer suatu negara sering kali memicu meningkatnya kompetisi penguatan militer negara lain sebagai respons. “Penyamaran” kemampuan militer batalyon-batalyon baru ini dalam wujud batalyon “pembangunan” merupakan cara pemerintahan Prabowo untuk tidak memicu kekhawatiran negara-negara di kawasan.

Baca juga  Indonesia Umumkan Kesepakatan Pembelian Drone Turki Senilai $300 Juta

Memperkuat Pertahanan Nasional Tanpa Militerisme

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pembentukan batalyon-batalyon baru TNI pada dasarnya merupakan upaya untuk memperkuat postur pertahanan nasional Indonesia dan menjaga laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di jalur perdamaian dunia. Si vis pacem, para bellum (siapa yang menginginkan perdamaian harus siap untuk berperang).

Tinggal satu pertanyaan dasar yang harus dijawab baik oleh pemerintahan Prabowo: Apakah fungsi teritorial batalyon-batalyon baru itu tidak akan mendegradasi demokrasi? Atau dengan kata lain, apakah keberadaan batalyon teritorial tersebut sewaktu-waktu bisa menjadi alat mobilisasi militerisme di Indonesia?

Penulis secara pribadi berprasangka bahwa Pemerintahan Prabowo memiliki komitmen kuat untuk tetap menjaga supremasi sipil dan keberlanjutan sistem demokrasi yang sehat di Indonesia. Pranata institusi sipil Indonesia cukup kuat untuk menopang sistem demokrasi kita. Presiden Prabowo tampaknya menyadari besarnya energi yang diperlukan bangsa ini untuk mengubah semua itu.

Lagipula, militerisme tidak bersinonim dengan pembangunan militer. Banyak pelajaran menunjukkan betapa berbahayanya upaya memiliterisasikan suatu bangsa. Ambil contoh Korea Selatan, negara demokratis yang memiliki rezim wajib militer kuat, yang baru-baru ini memakzulkan Presidennya yang tiba-tiba menerapkan Darurat Militer. Atau upaya kudeta gagal yang dilakukan sekelompok petinggi militer di Turki.

Baca juga  RENTETAN PERISTIWA PENGKHIANATAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)

Pada akhirnya, kita semua perlu bersikap kritis terhadap setiap gerak penyelenggaraan negara. Salah satu ciri sehatnya supremasi sipil dalam suatu bangsa adalah hadirnya kesadaran untuk melakukan checks and balances. Indonesia memerlukan militer yang kuat, bukan militerisme yang kuat. Cukuplah pengalaman sejarah di masa lalu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.

Wallahu’alam bishowwab

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru