email : [email protected]

24.5 C
Jambi City
Friday, November 22, 2024
- Advertisement -

KEDUDUKAN ORGANISASI PAPUA MERDEKA (OPM) DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL 

Populer

Oerban.com – Di Indonesia, Papua dikenal dengan sumber daya alam yang melimpah dan keragaman budayanya. Terdapat lebih dari 250 kelompok etnis dengan adat dan budaya yang berbeda. Ditambah lagi ada 100 kelompok etnis non-Papua yang juga memiliki keragaman budaya, serta terdapat kesukuan yang sangat kuat, maka dapat di pahami jika sering terjadi konflik-konflik sosial dengan kondisi keberagamaan norma dan nilai-nilai yang ada di Papua.
Hal ini dapat dilihat dalam pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai pada tanggal 26 juli 1965 yang dipimpin oleh Sersan Mayor Permanes Ferry Awom, mantan anggota batalyon sukarelawan Papua (PVK/Papua Vrijwillegers Korp) ciptaan Belanda. Dalam perspektif hukum, dengan munculnya gerakan OPM tersebut dapat diasosiasikan sebagai suatu perbuatan makar dari suatu kelompok yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah (fighting against the legitimate government) yang sudah tentu bertentangan dengan aturan secara hukum.
Dalam perkembangannya, OPM berkembang dari sebuah organisasi yang menginginkan pemisahan diri dari NKRI menjadi gerakan separatis yang sedikit lebih terorganisir, walaupun cenderung bersifat sporadis dalam pergerakannya, yang hingga kini menjadi ciri khas pergerakan organisasi tersebut. Hingga saat ini, OPM telah menarik perhatian Nasional bahkan Internasional. OPM terus mendeklarasikan Papua Barat sebagai bangsa yang berdiri sendiri. Sampai detik ini perseteruan antar setanah air masih terjadi dan menjadi perbincangan dunia Internasional.
Instrumen hukum internasional yang mengatur tentang kaum pemberontak dalam subjek hukum internasional adalah Konvensi Den Haag IV 1907, terkhusus Pasal 1, 2, 3 tentang syarat-syarat kaum pemberontak yang mendapat pengakuan internasional. Hal ini juga berkaitan dengan Geneva Convention 1949 (Konvensi Jenewa 1949) & Protocols Additional II to The Geneva Convention 1949 (Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949) tentang perang dan pemberontakan. Sehingga dewasa ini, subjek hukum internasional yang telah memiliki personalitas hukum dalam kancah hubungan internasional ialah Negara, Organisasi Internasional, Palang Merah Internasional, Takhta Suci Vatikan, Individu dan Kaum Pemberontak.
Yang menjadi pertanyaannya ialah, apakah saat ini OPM termasuk subjek hukum internasional? Hukum internasional tidak memiliki kriteria yang pasti untuk menentukan kapan suatu entitas dapat dikategorikan sebagai subjek hukum internasional. Hal ini karena pertimbangan historis serta politis jauh lebih dominan ketimbang pertimbangan hukum dalam pemberian pengakuan terhadap suatu entitas. Apalagi OPM belum dapat dikategorikan sebagai Kaum Pemberontak yang memiliki hak dan kewajiban terbatas sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, syarat-syarat sesuatu dapat dikatakan sebagai subjek hukum internasional yaitu memiliki personalitas hukum (legal personality) internasional dengan kemampuan dan kecakapan tertentu yang telah dikemukakan oleh para ahli hukum internasional, sehingga terdapat beberapa faktor yang tidak mendukung OPM untuk dapat diakui sebagai subjek hukum internasional.
Pertama, OPM belum mampu mendukung hak dan kewajiban internasional dikarenakan belum mendapatkan pengakuan internasional dari Pemerintah Indonesia. Pengakuan yang dimaksud adalah pengakuan terbatas, yang diberikan kepada gerakan-gerakan pembebasan nasional yang merupakan salah satu perkembangan baru dalam hukum internasional. Dengan pengakuan ini, maka OPM dimungkinkan untuk ikut dalam PBB atau organisasi-organisasi internasional tertentu.
Kedua, banyaknya aktivis OPM yang berkampanye untuk kemerdekaan Papua di beberapa forum internasional seperti di Belanda dan negara Eropa lainnya, serta Australia dan Amerika Serikat belum mampu dikategorikan sebagai suatu tindakan yang bersifat internasional. Sebab, para aktivis OPM hanya mendasarkan perjuangan politiknya pada tiga alasan. Tiga alasan itu yaitu Rakyat Papua ditolak dalam keseluruhannya masuk kedalam imperialisme Indonesia yang berpolitik ekspansionis yang didasarkan pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, secara geografis maupun etnologis Rakyat Papua termasuk Indonesia dan Rakyat Papua menolak paternalisme Indonesia dan sadar diri menurut haknya yang utama atas tanah airnya sendiri. Bertolak dari ketiga alasan itu maka ada dua faktor yang mendorong OPM melakukan perjuangan diluar negeri yaitu dunia tidak mengetahui duduk permasalahan dari bangsa atau rakyat Papua serta adanya informasi sepihak dari Belanda pada masa lampau dan dari Indonesia.
Ketiga, menjadi pihak dalam pembentukan suatu perjanjian internasional, sejauh ini syarat penting agar OPM dapat membentuk suatu perjanjian internasional adalah perjanjian internasional tersebut tunduk pada rezim hukum internasional dan menjadi sarana untuk meningkatkan kerja sama internasional serta instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan Bersama.
Keempat, dalam melakukan propaganda di forum-roum internasional para aktivis OPM yang berada di luar negeri belum juga menemui hasil positif sehingga hingga saat ini untuk belum menjadi anggota bahkan ikut berpartisipasi dalam keanggotaan suatu organisasi internasional dikarenakan belum mendapat pengakuan internasional dari PBB.
Dalam perspektif subjek hukum internasional, OPM tidak termasuk sebagai subjek hukum internasional maupun sebagai kaum pemberontak yang mendapatkan pengakuan internasional, karena OPM tidak memenuhi kriteria-kriteria sebagai kaum pemberontak yang tertulis dalam Konvensi Den Haag IV 1907 dan Konvensi Jenewa 1949. Maka, OPM merupakan suatu entitas yang tidak memiliki dasar hukum berdirinya serta tidak memiliki advisory opinion atau berdasarkan Keputusan atau Pendapat dari International Court of Justice. Serta OPM tidak memiliki kapasitas untuk bertindak karena tidak memiliki personalitas hukum terkait kejelasan mengenai pertanggungjawabannya dalam kancah hubungan internasional.
Pada akhirnya, untuk meredam kaum pemberontak tumbuh dan berkembang dalam hubungan internasional serta ditambah dengan tujuan kaum pemberontak yang ingin memerdekakan wilayah yang dikuasainya, diperlukan adanya rezim hukum internasional yang memperjelas kriteria-kriteria kaum pemberontak untuk mendapat pengakuan sebagai subjek hukum internasional karena hingga saat ini kriteria-kriteria kaum pemberontak hanya dilihat dari segi politisnya saja. Diperlukannya Memorandum of Understanding (MoU) karena adanya keinginan yang kuat dari OPM untuk memisahkan diri dari NKRI. Berdasarkan pengalaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), melalui MoU tersebut diharapkan dapat memberikan kesepahaman dan kesepakatan serta memberikan solusi bagi kedua pihak. MoU dapat dilakukan apabila pemerintah dapat menekan jumlah militer yang ada di Papua untuk menimbulkan kepercayaan kepada kelompok-kelompok kepentingan yang ada di Papua, sehingga OPM dapat mempercayakan sepenuhnya kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam menyejahterahkan Papua.
Penulis: Damayanti H
Editor: Renilda PY

Baca juga  SOAL PAPUA MERDEKA, MAHASISWA JAMBI ASAL PAPUA ANGKAT BICARA
- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru