Oleh : Khori Esa Mahendra
Bismillahirrahmaanirrahim, Penulis insya allah sudah memulainya dengan kalimat yang penuh keberkahan dan semoga yang membaca tidak ling-lung setelah membaca ungkapan perenungan dari seorang penulis yang sedikit minim pengetahuan.
Penulis ingin sedikit melanjutkan nestapa hati yang bergelimang dalam kesedihannya. Entah mengapa akhir-akhir ini penulis sedikit terlalu khawatir dengan situasi akhir-akhir ini.
Dinamika kehidupan yang amat panjang ini, ternyata membuat kita larut dengan realita yang sedang terjadi. Perjuangan yang setengah mati justru dihinggapi oleh perjuangan yang setengah hati.
Alih-alih ingin merubah beberapa hal justru kita sendiri yang dipukul oleh keinginan itu sendiri. Realita memang kejam para pembaca tapi diujung sana tentu akan lebih kejam lagi.
Disini penulis ingin menceritakan sebait cerita yang kemudian dituangkan dengan sedikit pukulan agar nantinya pembaca yang budiman bisa ikut terbangun bersama-sama bahwa perjuangan setengah teguk tak relevan untuk diulang kembali.
Dimulai dengan Syekhnya tarbiyah atau orang lain mengatakan Imam Hasan Al-Bana, Hasan Al-bana adalah seorang ulama masyhur yang kemudian menjadi salah satu korban kebiadaban kolonialis bangsa inggris yang ikut menjadi pengendali kuasa di Mesir sana. Disaat terakhir menjelang kematian mengenaskan seorang jihadis islam yang paling lantang berjuang membela agamanya justru mati dengan sia-sia tanpa ada seorangpun yang membelanya ataupun menyelamatkannya.
12 Februari 1949 di Kairo terdengar berita duka bahwa kiblat pergerakan di Mesir telah wafat, sang imam telah menghembuskan nafas terakhir tanpa ada satupun yang menyambut kematiannya. Pergerakan saat itu telah layu menunggu penyiram kembali datang.
Dilanjutkan dengan Cerita Seorang Jendral Bijaksana yang terlontang-lanting oleh paru-parunya yang beberapa tahun sudah mulai melemah, jendral soedirman sang guru yang dengan semangatnya berganti haluan menjadi pembela tanah air yang siap mati berjuang untuk mengusir para penjajah di Nusantara ini. Ada sedikit cerita miris diterima oleh sang jenderal, alih-alih ingin meminta sang presiden untuk ikut berperang bersamanya namun hal itu justru ditolak dan dianulir permintaannya karena alasan kesehatan sang jendral, lalu sang jendral bersikeras untuk tetap berperang pada agresi militer belanda yang kedua pada tahun 1948. Perjuangan itu berlanjut hingga belanda angkat kaki dari nusantara. 2 tahun berlalu sang jendral menghembuskan nafas terakhirnya, nusantara menangis tinggal lah sisa-sisa perjuangannya.
Tahun 2012, sang Islamis Mesir Mohammad Mursi presiden pertama Mesir, yang dipilih secara demokratis justru beberapa bulan setelahnya ia dikudeta oleh tirani militer Mesir yang menggulingkan sang presiden yang baru saja terpilih, alibinya sang Mursi dianggap sebagai diktator oleh sebagian penentangnya ia dituduh sebagai pembawa kepentingan kelompok tertentu. Mursi jatuh dan pada akhirnya militer mengambil alih pemerintahan dan pada 17 Juni 2019 televisi pemerintah Mesir mengabarkan kematian Mursi setelah ia pingsan pada saat pengadilan dirinya di mahkamah.
Terakhir penulis ingin bertanya dimana seorang yang bersama mereka disaat kematian menjemputnya?
Adakah seorang pendukung dan murid mungkin atau bawahannya serta atasannya ada disana?
Adakah kemudian diantara kita yang ingin menjadi korban selanjutnya?
Ini merupakan cerita kesudahan orang yang berjuang setengah mati dan kita yang berjuang setengah teguk!!!
Berjuang itu memang melelahkan, namun ia pasti. Tapi tertidur itu mematikan dan membahayakan.
Wallahua’lam bishowab