Jakarta, Oerban.com – Fraksi Rakyat Indonesia bersama YLBHI mengadakan Konferensi Pers pemuka agama Tolak UU Cipta Kerja, konferensi pers ini disiarkan langsung lewat channel youtube YLBHI dan Fraksi Rakyat Indonesia. Beberapa pemuka agama yang menjadi pembicara di antaranya adalah DR. Tongat, DR. Trisno Raharjo, DR. A. Syatori, Pdt. Ruth Ketsia, Pdt. Penrad Siagian, Ulil Absar Abdala, Roy Murtadho, dan Hasan Malawi.
Konferensi Pers ini merupakan lanjutan dari petisi penolakan yang telah dibuat sebelumnya, petisi yang diinisiasi oleh sejumlah tokoh agama tersebut telah ditanda tangani oleh 1,4 juta orang lebih. Lihat petisi di (https://www.change.org/p/ketua-dan-para-wakil-ketua-dpr-ri-ini-maklumat-pemuka-agama-indonesia-tolak-omnibus-law-dan-buka-ruang-partisipasi-publik-mositidakpercaya)
Melihat jumlah penanda tangan petisi tersebut, memang sudah saatnya maklumat penolakan ini disampaikan oleh para pemuka agama kepada pemerintah.
Hal pertama yang menjadi sorotan dalam konferensi pers tersebut adalah cacat Administrasi. Tongat, selaku narasumber sekaligus ketua Forum dekan perguruan tinggi muhamadiyah seluruh indonesia, menyampaikan keprihatinannya terhadap hal tersebut.
Menurutnya, pembahasan undang-undang tersebut cenderung tertutup, tidak transparan, dan minim partisipasi publik. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan konstitusi Indonesia, khususnya UU no 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, kekhawatiran terhadap gelombang massa yang terjadi sejak disahkannya UU sapu jagat tersebut juga menjadi sorotan. Pasalnya, pengerahan kekuatan yang berlebihan oleh aparat dalam membubarkan massa telah menciderai demokrasi.
Di tengah pandemi seperti ini, Pdt. Ruth Ketsia mengkhawatirkan akan terjadinya klaster penyebaran demontrasi. Untuk itu, masyarakat perlu menyampaikan kritik cerdas yang bersifat konstruktif kepada pemerintah. Namun, nampaknya hal ini memang tidak dapat dihindari lagi, sebab, para stakeholder baik itu pemerintah sebagai pengusung, maupun DPR RI sebagi legislator tidak menghiraukan kritik dan masukan-masukan dari masyarakat.
Pdt ruth juga mengingatkan tentang trauma masyarakat terhadap isme rezim orde baru, yang telah memetapkan sistem politik dan birokrasi sentralistik. “Cukup sudah, kami rakyat indonesia hanya menginginkan bapak presiden Jokowi Widodo untuk mendengarkan suara kami (rakyat Indonesia), yang menuntut keadilan dan kesejahteraan bagi kemaslahatan bersama”. Tegasnya.
Jika kita coba untuk mengurai dari awal, tentunya ada kecurigaan sendiri terhadap pemerintahan periode terakhir Presiden jokowi, yang terkesan going it’s on way, jalan sendiri dan tidak lagi mau mendengar pendapat rakyatnya.
Narasumber lainnya dalam konferensi pers tersebut, Ulil Absar. Mengatakan jika kekuatan rakyat di parlemen sudah sangat lemah, hal itu disebabkan oleh tidak seimbangnya partai opisisi yang ada di pusat, maka dari itu perlu adanya koalisi rakyat sipil yang lebih kuat sebagai penyeimbang, termasuk antar umat beragama.
Tampaknya memang benar, perlu ada koalisi yang kuat dari rakyat sipil, sebab, gelombang-gelombang protes rakyat sejak 2019 seperti berada pada titik nadir (secara subtsansi tuntutan yang tercapai).
Penulis: Zuandanu
Editor: Renilda PY