Jakarta, Oerban.com – Dua personel polisi terdakwa kasus unlawful kiliing terhadap sejumlah anggota Laskar FPI, Briptu Fikri Ramadhan (FR) dan Ipda Yusmin Ohorella (YO) divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam sidang putusan yang dilaksanakan Jum’at, 18 Maret 2022.
Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan Briptu FR dan Ipda YO terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan hingga membuat orang meninggal dunia. Namun, kedua terdakwa tidak dijatuhi hukuman karena alasan pembenaran, yakni menembak untuk membela diri, sebagaimana disampaikan dalam pleidoi atau nota pembelaan kuasa hukum.
Putusan Majelis Hakim tersebut memancing beragam respon dari berbagai pihak. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga menyebut telah menemukan beberapa keganjilan selama proses hukum berlangsung.
Sebelumnya, KontraS terlebih dulu melakukan pemantauan dengan metode pemantauan secara langsung di persidangan maupun pemantauan melalui media.
“Dalam pemantauan tersebut, kami menemukan sejumlah temuan dan keganjilan atas proses hukum terhadap para terdakwa. Temuan dan keganjilan ini berpotensi mengakibatkan tidak maksimalnya proses peradilan dalam mencari kebenaran materil,” tulis KontraS dalam keterangan resminya, Minggu (20/3/2022).
Beberapa keganjilan yang dimaksud KontraS di antaranya adalah, pertama, sejak ditetapkanya kedua terdakwa sebagai tersangka hingga diadili melalui proses peradilan, para terdakwa tidak dilakukan upaya paksa berupa penahanan. Padahal aparat penegak hukum memiliki alasan yang kuat untuk melakukan penahanan kepada para terdakwa, baik secara syarat bukti, maupun syarat hukum yang mensyaratkan tersangka dapat dilakukan penahanan apabila ancaman pidana penjaranya 5 (lima) tahun atau lebih.
Lalu, KontraS menyebut ada kelalaian dari para terdakwa ketika membawa keempat anggota Laskar FPI, sehingga berpotensi timbulnya gangguan keamanan. Dalam proses persidangan terungkap bahwa terdapat prosedur yang harus dijalankan oleh anggota kepolisian apabila membawa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Hal itu diatur dalam Peraturan Kepada Badan Pemeliharaan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkabaharkam) Nomor 3 Tahun 2011 tentang pengawalan.
“Pada intinya dalam peraturan tersebut diharuskan bagi anggota Polri untuk memeriksa terduga pelaku secara cermat dan memborgol kedua tangannya guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu melakukan pengawalan pada malam hari juga merupakan suatu larangan, kalaupun terpaksa terduga pelaku harus dibawa ke kantor kepolisian terdekat. Namun demikian, hal tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga berpotensi pada gangguan keamanan anggota Polri itu sendiri,” terang KontraS.
Lebih lanjut, dalam proses persidangan, KontraS mengatakan ada perbedaan keterangan terdakwa Briptu FR dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pada proses persidangan Briptu FR menjelaskan bahwa ketika membawa keempat anggota Laskar FPI ke tempat tujuan, terjadi perebutan senjata api milik terdakwa dengan beberapa anggota Laskar FPI. Dalam perebutan senjata api tersebut, terdakwa mengaku senjata api tersebut telah direbut namun dalam BAP justru menyatakan sebaliknya bahwa yang terjadi hanyalah berusaha direbut.
“Keterangan ini penting karena akan berdampak sejauh mana tahapan penggunaan kekuatan yang dapat digunakan ketika menghadapi sebuah ancaman,” jelas KontraS.
KontraS menambahkan, sebelum keempat anggota Laskar FPI dibawa, diketahui mereka mengalami dugaan kekerasan. Hal tersebut terungkap dari keterangan Kordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM di proses persidangan, dengan menyatakan terdapat sejumlah kesaksian yang diperoleh Komnas HAM bahwa saksi-saksi tersebut melihat empat orang yang masih dalam kondisi hidup, mendapatkan perlakukan kekerasan, dengan cara dipukul, dan ditendang-tendang.
Atas keterangan tersebut, KontraS berpendapat tindakan kekerasan yang diduga dialami oleh keempat anggota Laskar FPI tidak dapat dibenarkan secara hukum dan hak asasi manusia. Bahkan tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan pelanggaran hak asasi manusia. Jika hal itu terjadi, tentunya aparat penegak hukum harus mengambil langkah-langkah hukum guna mengungkap peristiwa kekerasan tersebut.
“Tidak hanya dugaan tindakan kekerasan, dalam persidangan tersebut juga terungkap bahwa sejumlah warga sekitar diduga mengalami intimidasi oleh aparat untuk tidak merekam peristiwa dan bahkan diminta untuk menghapus file rekaman atas peristiwa penangkapan yang terjadi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Komnas HAM ketika memberikan keterangan di persidangan. Kami menduga tindakan-tindakan semacam itu merupakan upaya untuk mengaburkan atau menghilangkan jejak atas upaya paksa yang diduga berlebihan terhadap sejumlah anggota Laskar FPI,” jelasnya.
Mengenai penembakan yang terjadi di dalam mobil Daihatsu Xenia B 1519 UTI berwarna silver, masing-masing ahli forensik yang dihadirkan mengungkapkan terdapat sejumlah luka tembak yang dialami para korban saat di dalam mobil, yaitu Muhammad Suci Khadavi ditemukan tiga luka tembak masuk pada dada kiri dan tiga luka tembak keluar pada punggung kiri. Muhammad Reza dua luka tembak masuk pada dada kiri. Selain itu ditemukan juga luka tembak keluar pada lengan atas kiri dan satu luka tembak keluar pada punggung kiri. Dua luka tembak masuk pada dada kiri jenazah Ahmad Sofyan Kemudian dua luka tembak keluar pada punggung Sofyan dan empat buah luka tembak masuk pada dada kiri jenazah Luthfi Hakim dan luka tembak keluar di punggung kiri.
Jika dilihat dari berbagai luka tembak yang dialami oleh korban, kesemuanya mengalami luka tembak pada titik yang mematikan. KontraS berpendapat tidak lah masuk akal, dalam kondisi perebutan senjata api, luka tembak tepat pada titik yang mematikan. Selain itu, bukti berkaitan dengan keadaan perebutan senjata api oleh beberapa anggota laskar FPI terhadap terdakwa Briptu FR, juga tidak terungkap secara jelas dalam proses persidangan. Harusnya aparat penegak hukum dapat membuktikan hal tersebut, misalnya dibuktikan dengan adanya jejak sidik jari korban pada senjata api yang diperebutkan.
Menyoal pertimbangan Putusan Majelis Hakim, yang berpendapat tindakan terdakwa dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dengan alasan harus mengambil sikap untuk lebih baik menembak terlebih dulu daripada tertembak, kemudian dengan melakukan tindakan tegas dan terukur. KontraS berpendapat, jika dikaitkan antara kasus tersebut dengan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dan senjata api, tindakan yang dilakukan tidak lah dapat dibenarkan. Hal tersebut dikarenakan tindakan yang dilakukan tidak memenuhi prinsip nesesitas, proporsionalitas dan masuk akal.
KontraS melanjutkan, jika memang benar telah terjadi upaya merebut senjata api milik Briptu FR, setidak-tidaknya dapat menggunakan kekuatan lain untuk menghentikan tindakan perebutan senjata api tersebut. Kalaupun penggunaan senjata api tersebut diperlukan, penembakan yang dilakukan sudah semestinya ditujukan pada titik yang melumpuhkan bukan pada titik yang mematikan, atau jika memang saat itu sedang dalam kondisi yang begitu krusial sedapat mungkin untuk meminimalisir kerusakan atau luka, akibat penggunaan kekuatan yang digunakan.
Dituntutnya terdakwa dengan 6 (enam) tahun penjara oleh JPU dan kemudian diputus lepas (onslag van recht vervolging) oleh Majelis Hakim dengan adanya alasan pembenar dan pemaaf dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas. Jika didasari pada temuan dan keganjilan yang ada maka tuntutan yang ringan oleh Jaksa dan Putusan lepas dari Majelis Hakim tidak lah mengherankan.
Sebab, KontraS menyebut Keganjilan-keganjilan proses hukum terhadap anggota Polri seringkali ditemukan di berbagai kasus, beberapa diantaranya misalnya kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan di Jakarta, kasus penyiksaan Zaenal Abidin yang melibatkan 9 (Sembilan) anggota Polres Lombok Timur, hingga kasus extrajudicial killing terhadap Deki Susanto di Solok Selatan, Sumatra Barat. Adapula kasus tewasnya Siyono di klaten, yang kemudian hanya memutus secara etik 2 (dua) anggota densus 88.
“Hal-hal semacam ini menunjukan bahwa terdapat praktik impunitas yang berakibat pada tercederainya rasa keadilan bagi korban maupun keluarga korban. Selain itu kami juga khawatir dengan adanya Putusan tersebut, menjadi legitimasi bagi anggota Polri di lapangan untuk kembali melakukan tindakan unlawful killing,” ungkap KontraS.
Berdasarkan uraian mengenai keganjilan yang terjadi pada proses hukum kasus unlawful killing anggota laskar FPI, serta beberapa rekam jejak keganjilan pada proses hukum anggota Polri yang telah terjadi, KontraS mendesak tiga hal kepada pihak terkait.
Pertama, mendesak Kapolri untuk memerintahkan Kapolda di bebagai daerah untuk melakukan evaluasi kepada setiap anggota Polri atas penggunaan senjata api yang digunakan agar tidak terjadi lagi penggunaan senjata api yang tidak proporsional. Termasuk melakukan reformasi kepolisian secara kultural bagi setiap anggota Polri agar menjadi anggota yang profesional dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia khususnya berkaitan dengan penggunaan kekuatan.
Kedua, Kejaksaan Agung mendorong Jaksa Penuntut Umum yang bertugas untuk melakukan upaya hukum kasasi, mengingat Majelis Hakim yang memeriksa memutus Putusan Lepas kepada para terdakwa.
Dan terakhir, Mahkamah Agung melakukan eksaminasi secara internal atas berbagai Putusan-Putusan yang melibatkan aparat penegak hukum sebagai pelaku terkait kasus penyiksaan, kasus unlawful killing/extrajudicial killing ataupun kasus serangan terhadap human rights defender.
“Hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk evaluasi dan pembinaan kepada hakim dalam menerapkan hukum tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam menegakkan keadilan,” tutup KontraS.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini