Oleh: Muthia Arahmah
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesunggguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Al-Zumar:9)
Ilmu merupakan sebaik-bainya perbuatan, ia juga merupakan sebaik-baiknya amal ibadah, yaitu ibadah sunah, karena ilmu merupakan bagian dari jihad di jalan Allah Swt.
Alkisah, seorang sahabat Nabi Saw. Kedatangan tamu jauh. Waktu yang tidak tepat. Bukan karena sang sahabat ini sedang sibuk atau akan pergi ke tempat lain yang karenanya tidak dapat menerima tamu. Bukan, bukan karena itu. Tapi, karena di dapur rumah sahabat ini, tidak ada satu pun yang tersisa. Sejak tiga hari ini, keluarga itu kelaparan.
Dapurnya tak mengepulkan asap, apatah lagi menyediakan suatu hidangan untuk tamunya. Satu-satunya yang tersisa hanyalah bubur encer untuk bayinya.
Maka, perdebatan kecil terjadilah di dapur. Sang ibu berpendapat bahwa mereka harus memerhatikan kesehatan bayi mereka, apalagi yang tersisa hanyalah bubur encer. Kalau diberikan kepada sang tamu pun, bubur itu tidak dapat mengenyangkan. Sedangkan kalau itu tidak diberikan kepada si bayi, akan sangat bermanfaat.
Sementara, si bapak berpendapat bahwa lebih ingin mendahulukan sang tamu. Cukup lama mereka saling melempar argumentasi. Namun, akhirnya disepakati untuk memuliakan tamu. Mereka teringat akan hadist Nabi Saw, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, muliakanlah tamu.”
Meski sudah sepakat, mereka masih bingung. Bagaimana cara menghidangkan bubur itu kepada sang tamu? Kenapa? Sebab, buburnya sangat encer. Tidak pantas kalau terlihat. Sementara, itu adalah makanan yang satu-satunya tersisa yang dapat dihidangkan. Kemudian, kalau bubur itu dihidangkan dan hanya satu piring, maka akan terkesan janggal. Hanya tamu yang makan, sementara tuan rumah tidak menemani makan. Padahal, tak mungkin dari bubur sejumlah itu dipecah menjadi dua piring.
Tapi akhirnya sang bapak mendapat ide, yakni mematikan lampu saat bubur itu dihidangkan. Maka setelah berbincang-bincang, sang bapak mengeluarkan hidangan dan langsung mematikan lampu. Sambil mempersilahkan sang tamu makan, ia pun berpura-pura sedang makan.
Dalam keadaan gelap, tidak diketahui jenis makanan dan jumlahnya. Sang tamu yang lapar makan dengan lahap, yang sepertinya ditemani sang tuan rumah. Akhirnya, ia pulang dengan perasaan senang. Sang tamu dihormati dan dijamu dengan baik oleh sang kepala keluarga meski ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Betapa sang bapak telah mengorbankan satu-satunya bubur encer untuk bayinya demi sang tamu. Suatu pengorbanan yang tiada tara demi penghormatan kepada sang tamu. Inilah kualitas iman“)
Sumber buku kisah para pecinta yang penuh perjuangan dan pengorbanan menuju kesyahidan.