Oleh : Hendri Yandri *
Kalau ditanya, puasa mana yang paling utama? Jawabannya pasti puasa Ramadhan sebab semua kebaikan berlimpah dan berkali lipat. Setelah puasa Ramadhan, puasa mana lagi yang utama, tentu puasa Nabi Daud, yakni berpuasa satu hari dan berbuka satu hari, selang seling. Namun muncul satu pertanyaan, jika puasa Ramadhan adalah yang paling utama, waktunya hanya sekali dalam setahun, sementara puasa Nabi Daud bisa dilakukan sepanjang masa kecuali pada Ramadhan dan hari Tasyrik. Meski pertanyaannya simpel, namun substansinya bukan pada waktu ataupun keutamaan, tapi lebih kepada “kelezatan” dalam melaksanakannya, itulah makna kelezatan iman.
Sama seperti penikmat kopi, bagi sebagian orang nikmatnya meminum kopi terletak pada racikan bahan dasarnya, bisa Arabika, Robusta, ataupun Liberika. Sementara bagi sebagian yang lain, kelezatan kopi terletak pada komposisi bahan yang dicampurkan, seperti susu, cream, cokelat, atau bahkan pada gula yang diaduk bersama bubuk kopi. Namun semua sepakat bahwa meminum kopi terletak pada kelezatan seruputan kopinya, yang membuat orang makin candu untuk meminum kopi, meski pahit sekalipun.
Setiap pecandu kopi, duduk berjam-jam hanya untuk menimati segelas kopi panas tidaklah seberapa, sebab setiap seruputan kopi mengalirkan energy yang luar biasa sehingga waktu bukanlah ukuran. Itulah candu, yang puas ketika dinikmati dengan penuh penghayatan. Antara kelezatan dan penghayatan masing-masing punya nilai tersendiri bagi pecinta kopi. Dikota-kota besar, styles penikmat kopi beranekaragam, dari yang kaki lima sampai pojokan ekslusif yang mewah. Semuanya bersatu dalam satu kata, sensasi.
Sensasi menikmati kopi membuat pikiran orang menjadi terbuka untuk menerima perubahan, maka tak salah jika beberapa alur cerita perubahan besar bahkan revolusi berawal dari kedai-kedai kopi. Lihat sejarah perubahan besar di imperium Ottoman, karena minuman keras dan bar terlarang bagi sebagian besar Muslim yang taat, kedai kopi menyediakan tempat alternatif untuk berkumpul, bersosialisasi, dan berbagi ide. Keterjangkauan kopi dan struktur egaliter — siapa pun dapat datang dan memesan secangkir — mengikis norma-norma sosial selama berabad-abad. Tidak semua orang senang dengan perubahan ini. Cerita lain datang dari Inggris, Pasqua Rosée membuka kedai kopi pertama di London pada tahun 1652, mendorong sebuah revolusi dalam masyarakat London. “Budaya Inggris sangat hierarkis dan terstruktur. Gagasan bahwa Anda bisa pergi dan duduk di sebelah seseorang secara setara adalah radikal,” kata Markman Ellis, penulis The Coffee House: A Cultural History. Ciri khas kedai kopi Inggris adalah meja-meja komunal yang dipenuhi koran dan pamflet tempat para tamu berkumpul untuk makan, berdiskusi, dan bahkan menulis berita. “Kedai kopi adalah penggerak industri berita di London abad ke-18,” jelas Ellis.
Perubahan besar dari kedai-kedai kopi, kafe-kafe yang menyediakan berbagai jenis kopi dengan brand lokal atau internasional membuat setiap orang berusaha mencarinya, meski hanya sekedar duduk sebentar, kalaupun tidak ikut minum kopi paling tidak mencium aroma kopi yang sangat istimewa. Aroma yang keluar dari seduhan secangkir kopi membuat pikiran menjadi terangsang untuk berimajinasi, seperti ungkapan Einstein, “Tanda sebuah kecerdasan bukanlah pada penguasaan ilmu pengetahuan, tapi terletak pada imajinasi”.
Kelezatan, penghayatan dan imajinasi adalah tiga kata kunci saat menikmati secangkir kopi panas yang disuguhkan oleh barista handal. Aroma yang membuat sensasi imajiner seseorang menjadi hidup, menambah nikmatnya kopi. Sama seperti seorang hamba yang menyatakan keimanannya, jika tidak menemukan kelezatan, penghayatan dan imajinasi, maka ibadah yang dilakukan hamba itu hanya gerakan ritual kosong tanpa bekas. Hamba yang rajin beribadah, namun hampa, seperti mayat yang komat-kamit tanpa memahami arti dan makna dari kata-kata yang diucapkan. Makanya wajar, jika seorang ahli ibadah selalu merasa hampa, disebabkan ia tidak merasakan kelezatan, tidak ada penghayatan dan tak mampu berimajinasi ketika melakukan ritual peribadatan.
Peribadatan dimasa pandemi covid-19 ini mestinya semakin kuat, rajin dan taat, sebab apapun yang terjadi adalah takdir yang memerlukan hati dan pikiran terbuka untuk membaca, bahwa manusia hanya makhluk lemah yang tak berdaya, bahkan menghadapi virus yang tak kasat mata. Manusia sejatinya adalah makhluk yang lemah, hanya kesombonganlah yang membuatnya merasa kuat dan digdaya. Oleh sebab itu beribadatlah dengan penuh penghayatan, merasakan lezatnya iman agar sifat sombong yang ada menjadi sirna dan akhirnya mampu menemukan hakikat ibadah yang sesungguhnya.
Sama seperti candu yang menemukan lezatnya iman dalam secangkir kopi.
Penulis CEO Oerbanesia