Kota Jambi, Oerban.com – Bulan merupakan satelit alami bumi. Sebagai satelit yang berputar mengitari Bumi, penampakan bulan berubah tergantung waktu. Dari sama sekali tidak tampak, muncul bulan sabit tipis, kemudian tampak melebar, terus lingkaran penuh atau purnama, kembali mengecil membentuk sabit, sabitnya semakin mengecil, hingga tidak tampak kembali.
Perubahan dari penampakan bulan inilah yang menjadi acuan dalam penanggalan kalender kamariah. Penampakan hilal atau bulan sabit yang paling tipis menjadi tanda bulan baru telah masuk. Dalam praktiknya, kerap terjadi perbedaan awal bulan terutama Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Hal tersebut disebabkan perbedaan kriteria teknik pelaksanaan metodenya. Melansir dari laman resmi Muhammadiyah, berikut tiga metode penentuan awal bulan kamariah.
Rukyatul Hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal saat matahari terbenam pada tanggal 29 bulan Kamariah. Dengan kata lain, rukyat hanya dilakukan manakala telah terjadi konjungsi bulan-matahari dan pada saat matahari terbenam, hilal telah berada di atas ufuk dan dalam posisi dapat terlihat. Jika pada tanggal tersebut hilal tidak terlihat, entah faktor cuaca atau memang hilal belum tampak, maka bulan kamariah digenapkan jadi 30 hari. Metode ini biasanya dilakukan menjelang hari-hari besar umat Islam seperti awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah.
Akan tetapi, kekurangan rukyat ini ialah umat Islam tidak mungkin bisa membuat kalender. Metode ini tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan, karena tanggal baru bisa diketahui pada h-1 atau hari ke-29 (bahkan tidak jelas bagaimana kita tahu kapan tanggal 29 itu). Selain itu, jangkauan rukyat sangat terbatas sehingga memaksa umat Islam untuk berbeda memulai awal bulan kamariah termasuk bulan-bulan ibadah, bahkan menyisakan problem dalam pelaksanaan puasa Arafah.
Imkan Rukyat
Imkan rukyat merupakan bagian dari metode hisab hakiki yaitu perhitungan astronomis terhadap posisi Bulan pada sore hari konjungsi (ijtimak). Dalam metode ini, penanggalan berbasis peredaran bulan disebut memasuki perhitungan baru bila pada sore hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam, Bulan berada di atas ufuk dengan ketinggian sedemikian rupa yang memungkinkannya untuk dapat dilihat.
Kelemahan dalam metode ini ialah para ahli tidak sepakat dalam menentukan berapa ketinggian Bulan di atas ufuk untuk dapat dilihat. Kriteria yang baru dari Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) menetapkan sudut ketinggian bulan minimal 3 derajat dan elogasi minimal 3 derajat. Sementara di negara lain seperti Mesir sudut ketinggian hilal minimal 4 derajat, di komunitas Muslim Amerika minimal 15 derajat. Kriteria-kriteria ini hanya didasarkan pada kesepakatan belaka bukan alasan astronomis.
Wujudul Hilal
Dengan metode ini, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu 1) telah terjadi ijtimak; 2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam; dan 3) pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan baru merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat.
Sama seperti imkan rukyat, metode wujudul hilal juga bagian dari hisab hakiki. Bedanya, wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab imkan rukyat. Jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk pada saat terbenam matahari, seberapapun tingginya (meskipun hanya 0,1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru.
Itulah tiga metode penentuan awal bulan kamariah. Sebagai informasi, berdasarkan kriteria wujudul hilal, 1 Ramadhan 1443 H jatuh pada 2 April 2022. Besar kemungkinan akan terjadi perbedaan dengan kriteria imkan rukyat yang baru, sebab ketinggian hilal pada 29 Syakban di seluruh Indonesia kurang dari 3 derajat. Sedangkan pengguna rukyat baru akan memutuskan setelah mereka benar-benar melihat hilal di atas ufuk saat matahari terbenam.
Editor : Renilda Pratiwi Yolandini