Ankara, Oerban.com – Sistem robotik yang dikembangkan oleh tim peneliti di Istanbul Technical University (ITU), dapat mendeteksi emosi dan stres anak autis melalui permainan dengan menggunakan sensor dan kecerdasan buatan.
Proyek ini diprakarsai oleh profesor Hatice Kose, anggota fakultas Komputer dan Informatika ITU, Kecerdasan Buatan dan Departemen Teknik Data. Kose dan tim proyek mengembangkan sistem robot menggunakan sensor dan solusi kecerdasan buatan untuk menentukan emosi dan stres anak autis melalui permainan.
Sebagai bagian dari proyek, game terapi telah dikembangkan dengan robot mirip anak kecil bernama “Kaspar”. Kose menyatakan, anak autis mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosinya dengan baik. Maka dengan “Kaspar” emosi dan stres pada anak-anak ditentukan.
“Ketika mereka stres, mereka tidak menanggapi pengobatan atau terapi. Tidak mudah untuk memahami emosi dan stres mereka, mereka mencerminkannya jauh berbeda dibandingkan orang dewasa,” katanya.
Kose menjelaskan, mereka mengembangkan sistem robotik dan modul pengenalan emosi yang didukung kecerdasan buatan menggunakan robot Kaspar. Robot humanoid Kaspar dan perangkat lunaknya dikembangkan di Inggris untuk sesi terapi anak autis. Saat ini, robot ini digunakan dalam terapi autisme di banyak negara, juga digunakan di Turki sebagai bagian dari proyek.
“Dalam lingkup proyek kami, saat anak-anak autis bermain game terapi dengan robot Kaspar, kami melacak gerakan mata, ekspresi wajah, suara, dan postur melalui berbagai sensor pintar. Kami juga memakai gelang pintar untuk memantau data fisiologis. Psikolog ahli menganalisis data dari sensor pintar ini, dan mengembangkan model kecerdasan buatan untuk membaca stres, emosi, dan perhatian anak-anak,” tambahnya.
Ia menyatakan, mereka bekerja dengan berbagai kelompok anak di Turki, Polandia, Inggris Raya, dan Makedonia Utara dalam lingkup proyek dan membuat perbandingan. Selain itu, kerjasama juga dilakukan dengan terapis, dokter, dan insinyur dari berbagai negara dalam kelompok proyek.
“Anak-anak biasanya tidak terlalu sering melihat wajah orang, tetapi mereka lebih sering melihat wajah robot. Kami mengamati bahwa mereka terlihat dan menjadi lebih tertarik, terutama ketika mereka bernyanyi dengan robot. Anak-anak lebih banyak berkomunikasi dengan robot saat mereka bermain. Kami mendeteksi ini baik melalui pengamatan dan analisis para ahli, dan melalui model kecerdasan buatan yang terkait dengan data sensor,” jelasnya.
Sumber: Daily Sabah