email : [email protected]

23.2 C
Jambi City
Minggu, September 29, 2024
- Advertisement -

Menyoal RUU Penyiaran, Peneliti TII Sebut Pemerintah Harus Memberikan Ruang Kerja Jurnalistik sebagai Pengawal Demokrasi

Populer

Jakarta, Oerban.com – Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Dewi Rahmawati, mengatakan bahwa keberadaan pembahasan RUU ini penting menimbang adanya penggunaan frekuensi publik (seperti televisi) yang dimanfaatkan oleh publik figur (artis) untuk meningkatkan publisitas mereka. Padahal, pemberitaan kehidupan pribadi tokoh-tokoh tersebut itu tidak menyangkut putusan kebijakan yang berpengaruh kepada kepentingan publik. Demikian, hal itu yang disampaikan Dewi Rahmawati dan Christina Clarissa Intania dalam Ngobrol Kebijakan (Ngobi) TII episode 18: “Kupas Kulit Pisang RUU Penyiaran”.

Christina Clarissa Intania, Peneliti Bidang Hukum TII juga menjelaskan bahwa dalam RUU tersebut terdapat beberapa materi yang perlu ditinjau ulang seperti Standar Isi Siaran (SIS) yang dilarang dalam Pasal 50B ayat (2).

Menurutnya, dilarangnya penayangan eksklusif jurnalistik investigasi bertentangan dengan prinsip demokrasi dan melanggar kebebasan pers. Selain itu, dilarangnya siaran yang berhubungan secara subjektif menyangkut kepentingan politik tentulah sangat rancu dan bertentangan atas prinsip-prinsip kerja jurnalistik.

Baca juga: Tolak RUU Penyiaran, Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi Gelar Demo di Depan Gedung DPRD Provinsi Jambi 

Christina juga menyebutkan bahwa RUU ini juga menyimpan masalah lainnya seperti meningkatnya ruang lingkup penyiaran KPI yang semakin meluas. Berdasarkan RUU, Konten over the top atau OTT, seperti Netflik, Disney Plus masuk dalam lingkup pengaturan yang di RUU disebut sebagai LPB atau Lembaga Penyiaran Berlangganan. Dengan pengaturan kelembagaan KPI yang semakin luas, hal ini akan mengancam sektor layanan bisnis dan usaha.

Di sisi lain, Dewi juga menjelaskan ancaman dari adanya RUU ini terhadap advokasi pada kelompok marginal. “Sangat mungkin hasil-hasil kerja advokasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil dapat menjadi ancaman terhadap pemerintah. Adanya RUU ini akan membatasi akses informasi masyarakat terhadap berbagai peristiwa ketidakadilan yang terjadi. Oleh sebab itu, kita harus tetap melindungi aktivitas-aktivitas jurnalisme yang berfokus pada kegiatan advokasi sebagai bagian kontrol dan pengawasan kita terhadap pemerintah,” ujarnya.

Baca juga  Hari Migran Internasional, Mufida Minta Perlindungan PMI Lebih Ditingkatkan

Terakhir, Christina menyampaikan bahwa RUU penyiaran perlu ditinjau dan dipertimbangkan ulang terutama pada poin-poin yang membatasi kerja jurnalisme investigatif, termasuk poin-poin yang menampilkan penayangan kekerasan. Dewi pun merekomendasikan agar RUU ini sebaiknya memfokuskan frekuensi publik yang edukatif terkait kebijakan publik. Hal tersebut misalnya dapat dilakukan dengan mengatur waktu tayangnya.(*)

Editor: Ainun Afifah

- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru