Jakarta, Oerban.com – Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, menilai Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap masih harus disempurnakan.
Sebab isi Permen yang sekarang, khususnya yang mengatur soal harga jual-beli (ekspor-impor) listrik dari pengguna tenaga surya ke PLN sebesar 1:1, terkesan tidak adil. Permen ini, kata dia, hanya akan menguntungkan industri, bisnis dan perumahan mewah, namun menjadi beban untuk PLN.
Demikian disampaikan Mulyanto saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Listrik, Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Gatrik dan Dirjen EBTKE Kementerian ESDM dan Dirut PLN, Rabu (18/8/2021).
Menurut Mulyanto, ketentuan ini bagus untuk mendorong produksi listrik EBT (Energi Baru Terbarukan) dan mempercepat pencapaian target bauran energi 23% EBT pada tahun 2025. Pengguna PLTS akan semakin bersemangat karena tarif ekspor-impor listrik PLTS dinaikan menjadi 1:1 dari yang sebelumnya hanya 1:0.65.
“Namun kalau sasaran regulasi ini adalah pelanggan di wilayah Jawa-Bali-Sumatera yang surplus listrik, maka yang PLN akan buntung. Sebab jumlah biaya yang harus dibayar oleh PLN lumayan sekitar 3.61 GW. Padahal PLN tidak memerlukan tambahan produksi di wilayah-wilayah surplus listrik,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Senin (23/8/2021).
Wakil ketua Fraksi PKS itu menjelaskan, logikanya sederhana, ketika pelanggan sebesar 3.61 GW yang menggunakan listrik PLN berhenti dan menggantinya dengan listrik dari PLTS yang diproduksinya sendiri, maka berarti PLN, berdasarkan hitungan Kementerian ESDM, akan kehilangan potensi pendapatan sebesar 3.61GW atau sekitar Rp 5,7 triliun per tahun.
Sementara perjanjian jual-beli listrik antara PLN dengan produsen listrik swasta (IPP) memiliki klausul TOP (take or pay), dimana dipakai atau tidak, maka PLN harus bayar 70-80 persennya. Artinya daya sebesar 3.61 GW yang tidak dipakai oleh pelanggan PLN, tetap harus dibayar oleh PLN kepada IPP, karena mesin argo TOP dari pembangkit listrik swasta tetap jalan.
“Berarti ketika pelanggan PLN beralih ke listrik PLTS atap sebesar 3.61 GW, maka PLN harus nombok sebesar Rp 5,7 triliun per tahun,” ujar Mulyanto.
Di sisi lain, lanjut Mulyato, bila terjadi kelebihan listrik dari PLTS atap, maka dengan regulasi baru, PLN harus membayar tambahan sebesar 35 persen tarif kepada pelanggan dari jumlah listrik yang diimpor (selisih tarif ekspor-impor 65% ke 100%). Ini kan PLN dua kali buntung.
Regulasi ini juga berpotensi menimbulkan ketidakadilan, karena yang akan menikmati sebanyak 99 persen adalah sektor industri, bisnis dan perumahan mewah di kota besar. Karena rumah orang miskin tidak menggunakan PLTS.
“Sekarang mulai banyak ditemukan pengembang perumahan mewah menjadikan fasilitas PLTS Atap sebagai bahan jualannya. Para pengembang mengimingi-imingi calon pelangganya akan dapat keringanan dari Pemerintah karena menggunakan PLTS Atap,” ungkapnya.
Secara ekonomi kondisi ini tentu tidak adil. Karena Pemerintah memprioritaskan orang yang mampu. Sementara di wilayah terpencil lainnya masih ada masyarakat yang belum dapat menikmati listrik.
Mulyanto menegaskan Pemerintah harus hati-hati membuat regulasi. Jangan sampai menjadi beban baru untuk PLN, yang sekarang saja terlilit utang sebesar Rp 500 triliun, serta melukai rasa keadilan dalam masyarakat di tengah pandemi ini.
Untuk diketahui, Pemerintah dalam keterangan saat RDP dengan Panja Listrik Komisi VII DPR RI menyampaikan, bahwa rencana pembangunan PLTS atap sebesar 3.61 GW dengan alokasi sebesar: 1.525 MW untuk perumahan; 1.307 MW untuk industri; 729 MW untuk bisnis; 37 MW untuk kantor pemerintah; 17 MW untuk lembaga sosial.
Editor: Renilda Pratiwi Yolandini