Sepintas tidak ada yang salah, sebagai seorang pejabat atau ASN yang punya jabatan mendukung keluarga untuk jadi anggota legislatif adalah hak masing-masing. Jika konteksnya adalah pejabat atau ASN yang punya jabatan tersebut menggunakan hak pilihnya untuk memilih keluarganya tidak menjadi masalah, namun jika menggunakan kekuasaan, pengaruh apalagi fasilitas negara (uang atau barang) untuk kepentingan keluarga jelas itu menjadi masalah. KementerianPAN-RB merespon fenomena ini dengan beragam sanksi yang mengancam Aparatur Sipil Negara (ASN) termasuk jika tidak menjaga netralitas dalam Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 42 Tahun 2004, terhadap pelanggaran berbagai jenis larangan kepada ASN dikenakan sanksi moral, Selanjutnya atas rekomendasi Majelis Kode Etik (MKE), ASN yang melakukan pelanggaran kode etik selain dikenakan sanksi moral, dapat dikenakan tindakan administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “Tindakan administratif dapat berupa sanksi hukuman disiplin ringan maupun hukuman disiplin berat sesuai dengan pertimbangan Tim Pemeriksa.
Disamping itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 07 tahun 2017 tentang Pemilu beberapa tindakan tertentu diancam sebagai sebuah tindak pinana yakni sebagaimana yang tercantum dalam :
Pada Pasal 494 “Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan/ atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama I (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.
Pada Pasal 547 “Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Pada Pasal 548 “Setiap orang yang menggunakan anggaran pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah (BUMD), Pemerintah Desa atau sebutan lain dan badan usaha milik desa untuk disumbanglan atau diberikan kepada pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Maka berdasarkan aturan yang ada dan ancaman hukuman tersebut di atas seharusnya menjadi perhatian dan peringatan bagi oknum pejabat dan ASN itu sendiri. Jika tetap melanggar berarti telah siap untuk menanggung resiko yang akan terjadi. Karena menegakkan hukum pemilu khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh oknum pejabat atau ASN adalah kewajiban setiap orang. Maka siapapun boleh mengambil peran untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum khususnya kepada pihak Bawaslu atau langsung ke pihak Kepolisian.
* Penulis adalah Lawyer di Jambi