Oleh: M. Yamin Nasution, SH*
Oerban.com – Gelombang pemberitaan hukum sepanjang tahun ini menegaskan kembali satu kenyataan yang sulit dibantah: sistem hukum Indonesia tengah mengalami kemerosotan serius. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, aparat penegak hukum, dan lembaga negara menjadi headline berulang selama dua tahun terakhir.
Rule of Law Index 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 67 dari 142 negara, hampir tidak bergerak dalam tiga tahun terakhir. Transparancy International mencatat skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih berada pada angka 34, menunjukkan stagnansi yang mengakar. Data ini mengonfirmasi bahwa problem hukum kita bukan sekadar kelemahan teknis, tetapi krisis paradigma.
Dalam konteks inilah, pada Ahad 15 November 2025, Partai Negoro (Nasional Gotong Royong) menyelenggarakan Rapat Strategis Terbatas di kawasan Tebet Timur Dalam. Forum ini menghadirkan sejumlah akademisi terkemuka dan guru besar dari berbagai universitas. Mereka menilai nama “Negoro” mengandung bobot filosofis yang jarang dijumpai pada partai politik lain: ia berakar pada konsep nagari, nangro, negara, yang menempatkan negara bukan sebagai alat perebutan kekuasaan, tetapi sebagai pranata moral dan sosial.
Dalam sesi tersebut, saya selaku Ketua Bidang Advokasi Partai Negoro, menyampaikan analisis strategis mengenai arah hukum Indonesia. Analisis tersebut saya ajukan berangkat dari dua asas universal teori negara yang relevan dengan kondisi aktual.
Pertama, masa depan tidak pernah pasti. Saya mengawali argumennya dengan asas klasik: “Una certitudo, de futuris nulla est.” Yaitu hanya satu yang pasti, masa depan penuh ketidakpastian. Asas ini selaras dengan pandangan teologis Al-Qur’an dalam Surah Al-‘Asr, “Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian.”
Bahkan sejalan pula dengan pesan dalam Amsal bahwa masa depan bukan wilayah yang dapat dipastikan. Dalam konteks bernegara, ia menjadi peringatan bahwa kebijakan publik harus dibangun dengan kehati-hatian, bukan ketergantungan pada narasi stabilitas semu yang dibentuk oleh kekuasaan.
Kedua, kepastian tidak boleh dikorbankan oleh ketidakpastian. Hal ini sesuai dengan asas “Certum propter incertum non est relinquendum.” Yaitu kepastian tidak boleh dilepaskan (dicela) hanya karena alasan ketidakpastian.
Namun, dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, kepastian hukum kerap dikorbankan demi kepentingan jangka pendek politik dan ekonomi. Peraturan berubah seiring konstelasi kekuasaan; hukum dijalankan selektif mengikuti arah angin; kepastian publik dikalahkan oleh ketidakpastian institusional.
Kerusakan Sistemik: Dari Struktur ke Budaya
Kerusakan hukum Indonesia telah mencapai fase paling mengkhawatirkan, yaitu ia telah berubah menjadi kultur politik. Korupsi sudah dianggap hal biasa bahkan jadi budaya. Padahal, jika korupsi dianggap budaya, maka kejahatan tidak lagi diberantas, melainkan dipelihara.
Saya berpandangan, normalisasi korupsi melahirkan tiga konsekuensi besar. Pertama, pelanggaran dianggap kelaziman, bukan penyimpangan. Kedua, penegakan hukum menjadi transaksional, bukan objektif. Ketiga, institusi hukum kehilangan otoritas moral, berubah menjadi alat kepentingan.
Di titik ini, Indonesia menghadapi apa yang saya sebut sebagai korporatisasi hukum, pergeseran hukum menjadi mekanisme yang bekerja sebagaimana korporasi: keputusan dipengaruhi nilai transaksi, bukan nilai konstitusi; pemilik kepentingan sempit menguasai arah regulasi; sementara rakyat berada hanya sebagai penonton kebijakan.
Fenomena ini menandai erosi paling serius dalam sejarah hukum Indonesia setelah reformasi: hukum kehilangan jati dirinya sebagai pagar moral negara.
Mengapa Negoro hadir? Di tengah kemerosotan itu, kehadiran Partai Negoro bukan untuk menawarkan slogan atau penyelamatan instan, melainkan menyediakan ruang gagasan yang relatif bebas dari dominasi dinasti politik dan oligarki internal. Negoro, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Faizal Assegaf, ingin mengembalikan politik sebagai ruang pemikiran publik, bukan sekadar arena kompetisi suara.
Negoro menekankan bahwa pembaruan negara hukum harus dimulai dari (1) pembentukan ulang hukum itu sendiri yang menjadi sumber kerusakan utama, dimana hukum masih memiliki tradisi bahasa (lex certa) yang Kolonial selain banyaknya bertabrakan antara satu undang undang dengan aturan lainnya.
Kemudian (2) pemulihan integritas lembaga penegak hukum, penataan ulang hubungan antara kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi, dan (3) pengembalian proses legislasi kepada nalar publik dan akademik. Pendekatan ini menempatkan Negoro bukan sebagai entitas elektoral semata, tetapi sebagai wadah penyusunan kerangka berpikir baru tentang negara.
Solusi Prinsipil
Untuk menghentikan laju kerusakan sistemik, beberapa langkah prinsipil perlu segera ditempuh yaitu (1) rekrutmen penegak hukum berbasis integritas, bukan loyalitas politik. (2) reformasi menyeluruh pada proses legislasi agar tidak lagi dikendalikan kepentingan segelintir aktor. (3) digitalisasi transparan proses hukum untuk menutup celah transaksi. (4) penguatan lembaga pengawasan independen dengan kewenangan substansial. (5) pengembalian hukum kepada nilai keadilan, bukan kepentingan birokratis.
Lebih dari itu, reformasi hukum di negeri ini hanya mungkin berjalan apabila negara kembali bertumpu pada prinsip moral yaitu: keadilan, kepastian, dan akuntabilitas. Bila menepikan tiga prinsip tersebut maka hukum hanya menjadi alat kepentingan sesaat dan bias politik, bahkan hukum kehilangan esensi dan dampaknya bagi warga bangsa, kecuali dampak buruk.
Rapat Strategis Partai Negoro beberapa hari hari lalu membuka kembali perbincangan penting tentang masa depan negara hukum kita. Ketika korupsi dinormalisasi dan hukum diperdagangkan, negara perlahan kehilangan legitimasi moralnya. Di tengah ketidakpastian itu, harapan justru muncul dari keberanian menata ulang cara kita memahami hukum dan negara. Masa depan memang tidak pasti. Namun ketidakpastian itulah yang seharusnya menggerakkan kita untuk memperbaiki, bukan untuk menyerah. (*)

