email : [email protected]

26.2 C
Jambi City
Jumat, April 19, 2024
- Advertisement -

KEBEBASAN BEROPINI DI MASA PANDEMI, WASPADA JERUJI BESI MENANTI

Populer

Kota Jambi, Oerban.com – Dalam menghadapi masa pandemi Indonesia menghadapi banyak kesulitan, mulai dari pelayanan kesehatan, ekonomi, pendidikan, pemerintahan. Kesatuan visi dan misi antar sesama manusia agar menjadi normal seperti sebelum virus ini menyerang sangat diharapkan. Namun sangat disayangkan terdapat beberapa oknum yang membuat mimpi itu menjadi sulit untuk terwujudkan.

Beberapa oknum mempengaruhi pikiran dan pandangan masyarakat luas dengan opininya tentang eksistensi dan keganasan penyakit COVID-19 yang mereka suarakan beberapanya seperti; bahwa virus SARS-CoV-2 adalah kospirasi politik, tidak se-menakutkan yang diberitakan oleh media, kospirasi ekonomi-farmasi hingga mengakibatkan banyak masyarakat menganggap remeh protokol kesehatan, enggan memakai masker, malas menjaga jarak, tidak melakukan cuci tangan setelah melakukan kontak dengan orang lain, tidak mempercayai; pemerintah, tenaga kesehatan dan media.

Opini sesat yang disebarkan oleh beberapa oknum ini menyebabkan mudahnya virus SARS-CoV-2 untuk tersebar dari satu orang ke orang lain, belum lagi jika orang yang padahal adalah positif pasien COVID-19 itu seorang yang termasuk dalam kategori Orang Tanpa Gejala (OTG) yang mana orang tersebut bisa sama sekali tidak memiliki gejala apapun yang disebutkan oleh tenaga kesehatan sebagai ciri-ciri khas orang yang terinfeksi virus SARS-CoV-2, jika orang tersebut juga adalah korban opini sesat oleh oknum yang mengatakan bahwa eksistensi penyakit COVID-19 hanyalah konspirasi maka mengakibatkan OTG ini dengan sesukanya tidak menaati protokol kesehatan lalu menyebarkan virus ke orang lain dengan bebas.

Salah satunya yaitu opini yang disampaikan oleh EAP (Edian Aji Pranoto) dengan opininya mengenai foto jenazah pasien COVID-19 yang diambil dan dibagikan di media sosial oleh seorang jurnalis, mengatakan “Saya percaya cvd itu ada. Tapi saya tidak percaya bahwa cvd semengerikan itu,” bahkan EAP mengatakan sendiri bahwa dirinya menulis CVD karena alasan malas menulis COVID.

Baca juga  Peran Hukum Dagang Internasional terhadap Perang Dagang Jepang dan Amerika

Opini yang dikemukakan oleh EAP ini sendiri hanya berdasar asumsi pribadi, tidak berdasarkan teori ilmiah, penelitian atau wawancara yang kredibel tidak pula menggunakan penamaan yang benar yaitu COVID-19 melainkan EAP menyebutnya dengan CVD hanya dengan alasan malas yang mana ini adalah tindakan yang tidak menghargai tenaga kesehatan dan tidak menghormati para pasien COVID-19 ini sendiri. EAP juga mengunggah sebuah video yang diunggah di kanal Youtube pribadinya pada 31 Juli 2020 yang mana video tersebut merupakan rekaman wawancaranya dengan HP (Hadi Pranoto) yang dikenalkan olehnya sebagai seorang profesor dan pakar mikrobiologi.

Faktanya di pangkalan data Dikti, tidak ada HP di dalam video itu bergelar profesor. Atas itu maka EAP dan HP berpotensi dijerat UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 45A ayat 1. Alhasil HP menjadi terlapor dalam laporan polisi bernomor LP/4538/VIII/YAN2.5./2020/SPKT PMJ karena dianggap meresahkan dan diduga menyebarkan berita bohong,.

Dari banyaknya opini sesat yang dikemukakan oleh banyak oknum, kasus ini menjadi salah satu yang sangat dikritik oleh netizen dan para pakar. Banyak keluhan mengenai penyalahgunaan kebebasan berpendapat yang digaungkan oleh EAP sebagai validasi argumennya. Terlebih EAP sendiri adalah seorang publik figur yang memiliki jutaan pengikut di kanal media sosialnya yang mana itu dapat mempengaruhi dan menghipnotis tiap orang yang membacanya.

Dampak opini yang menyesatkan itu sangat negatif yang mengakibatkan makin banyak pasien positif COVID-19 bahkan menyumbangkan pengaruh buruk yang besar pada tenaga medis, yang juga menjadi korban fitnah oknum penyebar opini sesat yang dikemukakan olehnya itu.

Dengan alasan kebebasan beropini atau kemerdekaan berpendapat orang-orang bisa bersembunyi di balik alasan ini, tanpa mengetahui ada syarat dan ketentuan dalam menyampaikan opini. Terlebih di zaman yang bisa dengan mudah mengakses semua hal lewat internet seperti saat ini, jika tidak berhati-hati maka seperti yang dikemukakan oleh Sellin dan Wolfgang dalam tipologi yang Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas.

Baca juga  Migrasi Hukum Kolonial Otoriter Menuju Hukum Modern Demokratis

Kebebasan berekspresi dan berpendapat dimaknai sebagai hak yang melekat pada setiap manusia, untuk memiliki. Kebebasan berekspresi digunakan untuk menyampaikan pandangan dan pendapat, baik antar individu atau kelompok. Dalam Peraturan Perundang-undangan sendiri Indonesia memiliki dasar hukum orang untuk merdeka dalam berpendapat yang adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 28J dan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu pada Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (1) dan (2)

Dari beberapa pasal yang mengatur tentang kebebasan berpendapat terdapat kontrak sosial yang harus dijaga, seperti menghargai orang lain, tidak mencemarkan nama baik, tidak menyebarkan kebencian, harus memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

Saat ini bumi sedang sakit, semua berduka dan sudah terlampau banyak korban. Sebaiknya sesama manusia saling memberi energi positif dan saling bergandengan tangan untuk hari esok yang lebih baik dan lebih sehat. Apapun latar belakangnya semua adalah manusia, kalahkan ego dan gengsi menangkan empati untuk sesama. Semoga Sang Pencipta segera pulihkan bumi tercinta.

Penulis: Andreanto Rama Putra

Editor: Renilda PY

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru