Kampus merupakan sebuah wadah yang mempertemukan insan civitas akademika untuk saling beradu gagasan intelektual demi kemajuan bangsa. Kampus juga seharusnya dapat menjadi bagian episentrum dari pendidikan, termasuklah pendidikan politik di dalamnya. Keberadaan BEM maupun DPM atau sejenisnya tidak hanya sekedar organisasi mahasiswa yang memberikan softskill, sertifikat dan pengalaman kepanitiaan belaka. Tetapi juga sebagai bagian utama instrumen politik kampus pada unsur mahasiswa dan melengkapi definisi kampus sebagai miniatur negara.
Namun, mirisnya yang terjadi saat ini adalah beberapa kampus ada yang mengalami “kebiri” terhadap lembaga kemahasiswaan seperti yang saya sebutkan barusan. Bahkan mirisnya, kampus yang berstatus PTN (baca: Perguruan Tinggi Negeri) mengalami hal serupa.
Pengebirian BEM, DPM akan semakin membuat mahasiswa menjadi apatis dan terkotak-kotak karena lembaga tersebut merupakan wadah integrasi dan kolaborasi dari setiap mahasiswa di berbagai fakultas maupun program studi.
Saya ambil contoh, Universitas Jambi yang mana BEM berada di level univeristas dan fakultas hampir semuanya dikebiri oleh birokrasi dengan tidak mau mengeluarkan SK KPU & Bawaslu saat akan diadakan pemira pada tahun 2021. Belum lagi, aksi mahasiswa yang sempat dilakukan pada 2021 mendapat tindakan represifitas dari pihak rektorat serta rektor sendiri tidak menanggapi, malah fokus ke acara universitas yang dibuat sendiri.
Hal ini merupakan anomali terkejam yang dilakukan oleh seorang pimpinan tertinggi di birokrasi kampus, yang bahkan dianggap seperti ayahnya universitas. Ada kepentingan apa sebenarnya yang ingin dilakukan oleh rektor? Apa yang membuat rektor begitu takut untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mendapatkan haknya dalam melengkapi pendidikannya?
Berdasarkan Permendikbud RI Nomor 155/U/1998 tanggal 30 Juni 1998 yang masih aktif hingga detik ini, menjelaskan bahwa:
“Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi diselenggrakan berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.”
Kesadaran bahwa pendidikan politik sangat penting sekali melihat di tengah-tengah minimnya minat mahasiswa berorganisasi dan kepeduliannya terhadap keadaan yang dialami masyarakat saat sekarang. Belum lagi kita sering sekali menemukan adanya suatu sistem di dalam kampus mencoba menjauhkan mahasiswa dari proses pendidikan politik, misalnya menjauhkan mahasiswa dari organisasi, dari masyarakat dan dari aspek sosial lainnya. Hal yang dilakukan sudah sangat gamblang menabrak apa yang telah menjadi idealnya kampus di Indonesia yang menganut prinsip demokratis.
Berkaca pada fenomena tersebut, sudah saatnya bagi rekan rekan mahasiswa menyadari bahwa reformasi di dalam lingkungan kampus harus digaungkan dan membangun kesadaran bersama untuk sama-sama menyalakan reformasi demi mengembalikan nilai-nilai demokrasi di lingkungan kampus.
Oleh: Jordi Adrian Syach
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Jambi yang saat ini duduk di semester 8